MANUSIA DAN DINAMIKA KONFLIK
Kelas Konsentrasi Sumber Daya Manusia Semester VI
Program Studi Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Islam Kuantan Singingi
Oleh : Alsar Andri
Konflik |
Konflik tertua manusia sudah
terjadi sejak zaman Nabi Adam as yakni keturunannya Qabil dan Habil atau nama
lainya Kain dan Abel. Secara sejarah filsafat manusia keturunan anak Adam as
inilah yang memperkenalkan manusia berkonflik. Konflik keturunan anak Adam as
dilatarbelakangi oleh wanita/perempuan. Menurut suatu riwayat Qabil punya
saudara kembar Iqlimiya yang berparas cantik, sedangkan Habil punya pasangan
kembar Layudha. Ketika nabi Adam as hendak menikahkan mereka Habil dengan
Iqlimiya dan Qabil dengan Layudha, proteslah Qabil dan membangkan karena
saudara kembar habil kurang menarik dan saudara kembanrnya cantik. Hingga Qabil
mengancam akan membunuh Habil. Dikisahkan dari suatu riwayat pembunuhan itu
dilakukan dengan cara memukul kepala Habil oleh Qabil dengan batu besar hingga
pecah dan mati ada juga riwayat menceritakan dengan mencekik dan menggigit
seperti binatang buas, allahualam bishawab.
Pada artinya, perempuan secara
kasarnya pemicu konflik laki-laki dalam merebutkannya. Maka tak heran banyak
keturunan Adam as (laki-laki) yang berkonflik disebabkan merebutkan keturunan
Hawa (perempuan), tak sedikit pula konflik ini akan memicu pada kekerasan
massa. Selain itu, konflik juga banyak yang dilatarbelakanginya, kebencin,
perebutan harta, ketidakadilan penindasan dan sekelas yang receh sekalipun dari
ejek-mengejek.
Sejarah manusia juga mencatat
konflik massa mulai dari pemberontakan pada masa Romawi Kuno, Perang Salib,
pembantaian massal orang-oramg Yahdi dimasa perang dunia ke II. Sedangkan kasus
di Indonesia juga terjadi konflik massa yakini pada peristiwa PKI, mereka yang
tertuduh sebagai PKI pada tahun 1965-1975 dibantai secara massal, juga terjadi
kerusuhan dan konflik massal yang terjadi sepanjang tahun 1998-1999. Selain itu
tak berlebihan pula Indonesia ini dikenal dengan tanah yang penuh dengan
konflik, karena begitu banyaknnya konflik yang terjadi baik bernuansa politik,
sosial, ekonomi, perebutan sumberdaya maupun SARA. Seperti kasus konflik Ambon,
Sampit dan Madura serta baru-baru ini kita mendengar konflik yang bernuansakan separatisme : Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sedikit pula memekan korban serta
penanganan yang ekstra oleh pemerintah.
Salah satu persoalan manusia dan
fenomena kekerasan massa menurut pemikiran Elias Canetti, ia memberikan
argument yang menarik bahwa lepas dari sifat leluhurnya, manusia memiliki
kodrat hewani yang tertanam jauh di dalam dirinya. Kodrat hewani inilah yang
memungkinkan manusia lepas dari semua sebab ekonomi dan politik, berubah
berkumpul sebagai massa dan bertindak kejam sesama manusia.
Elias Canetti menganalisa dengan
sebuah pengandaian dasar bahwa setiap orang memiliki isnting alamiah untuk
bergabung dengan dalam massa. Ia menyatakan bahwa salah satu ciri mendasar dari
massa adalah kemampuan untuk menghancurkan. Pada pengertian dasarnya adalah,
seseorang yang telah berkumpul pada massa akan dapat memicu konflik tanpa ia
mengenal lawan konfliknya, kekerasan dapat terjadi tanpa rasional yang jelas,
seseorang akan terbawa emosi dalam melihat sutau konflik pda sudut pandang
massa, si A pada kelompok tertentu dapan membunuh si B pada kelompok lainnyanya
padahal Si A dan Si B tidak saling kenal dan tak pula jelas sebab penyebabnya
dalam konflik. Kita contohkan pada kasus supporter bola PERSIJA Jakarta dengan
sebutan JAK MANIA dengan supporter bola PERSIB Bandung dengan sebutan BOBOTOH,
supporter yang saling serang dan bermusuh bebuyutan hanya persoalan kalah
menang dalam sepak bola. Namun daya hancurnya dapat menyebabkan anak kecil,
orang tua dan orang tak jelaspun menjadi sasaran kebengisan.
Selanjutnya hal ini juga
dipertegas oleh Gustave Le Bon. Baginya ketika bersatu dengan massa, orang
kehilangan rasionalitas dan kembali menjadi manusia “purba” yang tidak
mempunyai pertimbangan kritis ataupun rasional atas apa yang terjadi. Ketika
tergabung dengan massa, orang kehilangan kepribadiannya, menyatu dengan massa
dan seolah-seolah menjadi tidak beradab. Orang-orang seperti terhipnotis dan
berubah menjadi kejam, tidak mampu berfikir mandiri dan mudah terbawa arus.
Mereka seolah-olah turun ke tingkat evolusi yang lebih rendah serta berprilaku
seperti hewan dan orang biadab. Dalam masyarakat modern, akal budi menjadi
aturan utama, munculnya massa adalah simbol dari penurunan kualitas keberadaan
dari suatu masyarakat.
Dengan demikian, manusia mampu
mengubah dirinya. Ia mampu melepas identitas kemanusiannya dan menjadi suatu
yang “lain”. Hal ini pula yang terjadi ketika manusia terisap ke dalam massa.
Manusia tidak lagi menjadi dirinya sendiri, tetapi menjadi sesuatu yang “lain”
dari dirinya, yang menyerupai hewan. Pemikiran ini dapat oleh Elias Canetti
dari legenda Proteus yang mengubah dirinya untuk menghindari musuh yang hendak
menangkapnya (sifat hewani bunglon) serta pada agama-agama kuno yang meyakini
pendeta dapat mengubah dirinya menjadi “kendaraan dewa” dan memiliki
kesaktiannya (seperti kisah pada babad tanah jawa angling dharma bisa berubah
menjadi hewan-hewan sakti atas kehendak dewa).
Elias Canetti pada hal ini ingin
menggambarkan perilaku manusia dengan menjelaskan mekanisme perilaku hewan-hewan.
Dengan cara itu ia ingin membongkar perasaan hewani di dalam diri manusia.
Sebab Elias Canetti menganut filsafat ZOOLOGI : ZOO (Hewan) LOGI (Ilmu) = Ilmu
Tentang Hewani.
Baik mari kita lihat sifat-sifat
alamiah manusia yang sama dengan aspek-aspek hewani. Aspek ini tidak
tersembunyi tetapi tampak dalam perilaku sehari-hari : Seperti prilaku massa
yang menyerbu barang diskon (lebah mengejar madu), berubah sikap sesuai konteks
(bunglon menyesuaikan warna dengan habitatnya), menaklukna dan membunuh musuhnya
(singa menerkam kijang), membangun perumahan liar di himpitan kota besar
(tanaman liar yang hidup di sela-sela tanaman lainnya) dan sebagainya, dengan
kata lain manusia lebih mirip dengan hewan.
Elias Canetti pernah mengupas
sebuah kisah seorang sejarawan Romawi yang bernama Josephus. Ia sempat membantu
orang-orang Yahudi untuk memberontak terhadap pemerintah Romawi. Upaya itu
berakhir dengan jatuhnya Yerusalem ketangan tentara Romawi pada 70 tahun
setelah Masehi. Bersama empat puluh pengikutnya, Josephus besembunyi di gua.
Setelah berdiskusi merekapun sampai pada kesepakatan untuk melakukan bunuh diri
bersama dari pada jatuh ke tangan Kekaisaran Romawi. Sejujurna Josephus tidak
mau bunuh diri, tetapi kesepakan kelompok menderanya. Ia pun mengajukan usul agar
dibuat semacam undian, bahwa orang kedua yang mendapat undian harus membunuh
orang pertama, orang ketiga membunuh orang kedua dan seterusnya. Orang terakhir
harus membunuh dirinya sendiri. Dengan berbagai cara yang licik Josephus
akhirnya mendapatkan undian yang terakhir. Namun ia tidak membunuh dirinya
sendiri. Ia kabur dari gua dan kembali hidup menjadi orang Romawi dalam
kekayaan dan kemakmuran.
Dapatlah pula kita simpulkan
bahwasannya kita ini hewani yang berakal, jika tidak kita gunakan akan itu maka
kita lebih buruk dari binatang sekalipun, itulah yang telah lama Allah Swt
tegaskan kepada kita manusia. Harus menyeimbangkan Nafsu dan Akal yang
dimiliki, sehingga pada akhirnya kita benar-benar menjadi makhluk yang sempurna
dan mulia diatas segala-galanya termasuk malaikat sekalipun.
Sumber :
H. A. Rusdiana, 2019, Manajemen Konflik, Bandung, Pustaka
Setia.