Home » » EKSISTENSI KEBUDAYAAN MELAYU DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

EKSISTENSI KEBUDAYAAN MELAYU DI TENGAH ARUS GLOBALISASI



EKSISTENSI KEBUDAYAAN MELAYU DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

Alsar Andri
Program Studi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Islam Kuantan Singingi
Alsar_Andri@yahoo.co.id

Abstrak 
Arus globalisasi telah memasuki Provinsi Riau dan telah mengikis nilai-nilai kebudayaan melayu Riau yang identik dengan agama Islam. Nilai-nilai dan Norma-norma  yang telah memudar itu ialah nilai kepatutan dan norma kesusilaan, dapat di lihat pada kota Pekanbaru yang menjadi pusat ibuka di Provinsi Riau, yang terlebih dahulu merasakan dampak dari arus globalisasi. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui apakah kebudayaan melayu Riau mampu bertahan di tengah arus globalisasi, dan untuk mengetahui nilai-nilai luhur kebudayaan melayu yang dapat melestarikan dalam mempertahankan kebudayaan melayu.
Landasan teori yang penulis gunakan pada karya ilmiah ini adalah teori/konsep budaya dan kebudayaan, teori/konsep globalisasi, sekilas tenatng melayu dan riau, teori/konsep pemuda, teori/konsep perubahan sosial dan teori/konsep pembentukan kepribadian. Metode dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sifatnya deduktif yakni penulisannya didasarkan pada kajian teoritis (pustaka) yang relevan dengan masalah yang dibahas. Sedangkan dilihat dari jenisnya digolongkan kepada karya ilmiah biasa (ordinary paper). Serta dieksplanasi dengan cara deskriftif. Hasil dari pada karya ilmiah ini adalah bagaimana kebudayaan melayu mampu bertahan di tengah arus globalisasi dengan cara menanamkan nilai-nilai luhur dari kebudayaan melayu yang identik dengan Islam, diantara nilai Islam itu adalah, adat dan resam (kebiasaan).

Kata Kunci
Eksistensi, Budaya Melayu dan Globalisasi
 
Pendahuluan
Budaya, satu kata yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah negara terlebih untuk Indonesia yang dikenal sebagai negara multikultural. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat karena semua aspek dalam kehidupan masyarakat dapat dikatakan sebagai wujud dari kebudayaan, misalnya gagasan atau pikiran manusia, aktivitas manusia, atau karya yang dihasilkan manusia.
Budaya juga merupakan identitas dan karakter bangsa yang harus dihormati dan dijaga dengan baik oleh para penerus bangsa. Budaya lokal Indonesia beranekaragam sesuai dengan potensi yang dimiliki Indonesia sebagai negara majemuk yang terdiri dari banyak pulau, suku, dan sumber daya lainnya. Pembentukan identitas dan karakter bangsa sebagai sarana  bagi pembentukan pola pikir (mindset) dan  sikap mental, memajukan adab dan kemampuan bangsa, merupakan tugas utama dari pembangunan kebudayaan nasional.
Oleh sebab itu negara juga turut untuk memajukan kebudayaan nasional di tengah peradapan dunia serta menjamin nilai-nilai dari kebudayaan tersebut. Dan juga ikut memelihara kebudayaan naisonal. Hal ini termaktup dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 32 Ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
“Pasal 1: Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradapan dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”
“Pasal 2: Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasioanal” 
Selain dari pada identitas dan karakter bangsa fungsi kebudayaan bagi masyarakat sangatlah besar, yaitu guna menghadapi kekuatan dalam di mana ia berada, maupun kekuatan-kekuatan lainya didalam masyarakat itu sendiri, yang tidak selalu baik baginya. Disamping itu, manusia dan masyarakat sangat memerlukan suatu kepuasaan baik dalam spiritual maupun material.
Kebutuhan-kebutuhan masyarakat tersebut sebagian besar dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Dikatakan sebagian besar, karena kemampuan manusia sangatlah terbatas dan dengan demikian kemampuan kebudayaan yang merupakan hasil ciptaannya juga terbatas dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia.
Indonesia yang begitu luas, memiliki suku-suku, bahasa-bahasa daerah serta pulau-pulau dan juga memiliki kebudayaan lokal yang beraneka ragam, ini merupakan kekayaan yang dimiliki bangsa Indoesai, serta ini juga menjadi satu kebanggaan sekaligus suatu tantangan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk dapat mempertahankan budaya lokal yang ada di tengah banyaknya pengaruh budaya asing yang dapat merusak budaya lokal. Inilah yang disebut dengan arus globalisasi pada abad modern ini, dimana garis-garis kebudayaan nasional dengan kebudayaan asing yang semakin kabur, sedikit banyaknya tentu keadaan seperti ini akan mempengaruhi kebudayaan lokal indonesia yakni kebudayaan lokal Indonesia akan mengalami degradasi kebudayaan, difusi kebudayaan maupun asimilasi kebudayaan. Tugas ini tentunya dikhususkan bagi generasi penerus bangsa yang mulai mengabaikan pentingnya peranan budaya lokal untuk memperkokoh ketahanan budaya bangsa. Padahal ketahanan budaya bangsa merupakan salah satu identitas negara di mata Internasional.
Proses globalisasi dunia dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya Provinsi Riau telah membawa perkembangan pola hidup masyarakat ke arah modern. Proses tersebut telah menggeser nilai-nilai tertentu dalam sistem sosial masyarakat Provinsi Riau yang khas dengan budaya melayu. Memudarnya nilai-nilai kultural sebagai based-brainstorming penguatan karakter bangsa patutnya menjadi perhatian penting terhadap semua pihak.
Akibat adanya pengaruh budaya luar yang sedikit banyaknya mempengaruhi kebudayaan melayu Riau mengakibatkan degradasi dari pada budaya melayu itu sendiri, pada zaman modern ini suka tidak suka arus globalisasi telah memasuki Provinsi Riau dan telah mengikis nilai-nilai kebudayaan melayu Riau yang identik dengan agama Islam. Pada awalnya kebudayaan melayu Riau yang sarat dengan nilai-nilai, norma-norma kesusilaan dan agama akan tetapi nilai-nilai dan norma-norma kesusilaan dan agama itu mulai memudar. Kenyataan yang dapat kita lihat dari memudarnya nilai-nilai dan norma-norma kesusilaan dan agama yang identik dengan budaya melayu itu adalah moral anak muda maupun pemuda yang sejatinya adalah generasi penerus bangsa ini, dan pewaris dari kebudayaan. Nilai-nilai dan Norma-norma  yang telah memudar itu ialah nilai kepatutan dan norma kesusilaan yakni, dapat kita lihat di kota Pekanbaru yang menjadi pusat ibuka di Provinsi Riau, yang terlebih dahulu merasakan dampak dari arus globalisasi.
Sebagaimana pergaulan remaja Kota pekanbaru yang dikatakan oleh Program Manajer Dkap PMI Provinsi Riau Nofdianto : “Pergaulan bebas di kalangan remaja telah mencapai titik kekhawatiran yang cukup parah, terutama seks bebas. Mereka begitu mudah memasuki tempat-tempat khusus orang dewasa, apalagi malam minggu. Pelakunya bukan hanya kalangan Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan sudah merambat di kalangan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Banyak kasus remaja putri yang hamil karena kecelakan padahal mereka tidak mengerti dan tidak tahu apa resiko yang akan dihadapinya”.
Ini sangtatlah memprihatikan, di mana generasi muda yang seharusnya dapat berbuat banyak pada kegiatan positif untuk kemajuan bangsa seolah tercemari dengan berbagai budaya yang mengarah pada kerusakan moral. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan kaidah dan norma yang berkembang di tanah melayu ini.
Lebih lanjut dapat juga kita lihat bagaimana nilai-nilai dari kebudayaan melayu telah mengalami degradasi yakni nilai kebudayaan gotong royong, yang dirasakan semakin menipis, yang dahulunya nilai kebudayaan gotong royong ini sangatlah kental di masyarakat, akan tetapi nilai kebudayaan ini telah diganti dengan nilai individualisme yang merupakan pengaruh dari budaya asing.
Kemunduran yang terjadi dapat dilihat dari segi kebudayaan, hukum, ekonomi, pendidikan, politik dan bahkan kepercayaan orang melayu ada yang sebahagian kembali kepada tradisi lama (animisme). Berdasarkan fakta yang dikemukan dalam masyarakat, apakah masyarakat melayu Pelalawan pasca kolonialisme mampu mempertahankan bahwa melayu identik dengan islam. Lebih menyedihkan keluar suatu pernyataan, bahwa etos kerja  dan orang melayu rendah, adanya pandangan bahwa psikologis orang melayu tidak stabil dan sebagainya. (Husni Thamrin, 2007 : 4).
Fenomena di atas telah mengundang reaksi publik, berbagai elemen masyarakat hingga pemerintahan merasa harus membenahi pola hidup yang telah dianut generasi muda zaman sekarang. Rendahnya kualitas dan kuantitas wawasan generasi muda pada pendidikan kebudayaan melayu Riau menjadi dampak terburuk dari kesalahan menerima sub kebudayaan yang menyimpang. Lembaga-lembaga adat mulai menekankan pentingnya budaya melayu sebagai tameng untuk menahan serangan dari budaya asing untuk merehabilitasi kerusakan moral dan terdegradasinya nilai-nilai kebudayaan dan norma-norma agama islam.
            Adapun hal vital yang perlu dibenah ialah penanaman budaya melayu yang erat relasinya dengan perkembangan generasi muda dan pembangunan bangsa. Budaya Melayu yang dapat dijadikan obat bagi kerusakan moral generasi muda ialah menggalakan lagi nilai-nilai kebudayaan serta norma-norma agama islam yang identik dengan budaya melayu yang dapat ditanamkan kedalam diri masing-masing generasi muda.
Dari uraian di atas serta gejala-gejala yang ada, maka penulis merumuskan masalah pokok pada penelitian ini sebagai berikut :
“Apakah Kebudayaan Melayu Riau Dapat Bertahan Dalam Menjaga serta Dapat Mempertahankan Nilai-Nilai Budaya Melayu Di Tengah Arus Globalisasi”

Metode Penelitian
Adapun metode penulisan karya ilmiah yang penulis gunakan adalah, dilihat dari sifatnya, maka karya ilmiah ini dapat digolongkan kepada karya ilmiah deduktif yakni penulisannya didasarkan pada kajian teoritis (pustaka) yang relevan dengan masalah yang dibahas. Sedangkan dilihat dari jenisnya maka karya ilmiah ini digolongkan kepada karya ilmiah biasa (ordinary paper). Serta dieksplanasi dengan cara deskriftif, pengertian deskriftif (Descriptive) yang berarti bersifat menggambarkan atau melukiskan sesuatu hal. Menggambarkan atau melukiskan dalam hal ini dapat dalam arti sebenarnya (Harfiah),yaitu berupa gambar-gambar atau foto-foto yang didapat dari lapangan, atau penulis menjelaskan hasil makalah dengan gambar-gambar dan dapat pula berarti menjelaskannya dengan kata-kata. (Usman, 2011 : 129).  

Hasil dan Pembahasan
Pusaran Masalah
Arus globalisasi yang begitu cepat melanda muka bumi, menyebabkan sentuhan dan interaksi budaya dari berbagai jurus tak terhindarkan. Dalam hal ini negara-negara yang relatif miskin dan ketinggalan dalam teknologi lebih banyak terpengaruh oleh budaya negara-negara kaya dan berteknologi maju. Maka bangsa Indonesia yang tergolong masih tergolong negara sedang berkembang, cukup mudah terpedaya oleh budaya dan tata nilai dari luar yang datang lewat media cetak dan elektronik, seperti surat kabar, majalah, buku, berbagai kaset dan siaran televisi dari manca negara. Jika tata nilai suatu bangsa tidak dikenal dan dihayati secara oleh generasi mudanya, maka alamat pengaruh dari luar akan diterima begitu saja. Akibatnya bangsa itu akan kehilangan yang hakiki dari pembedaharaan hidupnya.
Masuk atau dikenalnya budaya dan nilai-nilai asing oleh generasi muda, sebenarnya tidak semuanya buruk. Yang dikhawatirkan adalah kemampuan mereka memilih, sehingga yang diterima hanyalah yang memang diperlukan dan merupakan yang terbaik dari segalanya. Ketika generasi muda itu berhadapan dengan beragam nilai dan budaya dari luar tersebut, mereka seyogyanya tidak hanya tidak hanya berada dalam posisi terpengaruh, tetapi juga mampu memberikan reaksi yang seimbang. Hasilnya, mereka semakin kuat keberadaannya, dan bukan hanya mereka terpengaruh, tapi juga bisa sebagai pihak yang mempengaruhi. Untuk itu, mereka perlu bekal yang memadai mengenai nilai-nilai budaya bangsanya sendiri, sehingga sewaktu mereka bersentuhan dengan nilai-nilai budaya dari luar, dapat timbul suatu gerak budaya yang dinamis, yang punya orientasi untuk membuat bangsa ini mempunyai tempat yang layak dalam abad mendatang.
Bangsa yang besar, maju dan punya peradaban yang hakiki tidak hanya maju secara sistem ekonomi dan teknologi saja, akan tetapi bangsa yang maju secara hakiki itu juga maju secara sistem nilai-nilai kebudayaan, dan norma-norma keagamaan, sebab sistem nilai-nilai kebudayaan merupakan jati diri sebuah bangsa serta identitas untuk melangsungkan pembangunan di bangsa tersebut. Begitu juga hendaknya yang tercermin di negara Indonesia khususnya Provinsi Riau yang jadi diri daerahnya adalah berkebudayaan melayu, yang identik dengan islam. Kalau kita berbicara soal kebudayaan maka di Malaysia kebudayaan melayu itulah sebutan untuk negara, ketika orang mengatakan melayu maka yang tercermin adalah negara Malaysia, begitu juga hendaknya yang tercermin dari wajah Provinsi Riau. Hendaknya kebudayaan melayu Riau bukan hanya bersifat abstrak tetapi mampu diwujudkan dengan ide, gagasan yang dituangkan dalam tingkah laku yang tercermin dari pemeluk budayanya, serta dapat menjadi dasar dari tonggak pembangunannya.
Lain hal apabila kita lihat perkembangan negara maju seperti Singapura yang pada dasarnya mereka adalah melayu, akan tetapi jati diri melayunya telah tergerus oleh budaya asing, sehingga negara Singapura tidak lagi memiliki identitas bangsa dan jati dirinya sebagai rumpun melayu. Hal ini jangan sampai menular kepada Indonesia khususnya Provinsi Riau yang juga merupakan daerah melayu yang begitu kental hilang dari nilai-nilai kebudayaan melayu dan norma-norma agama islam akibat arus globalisasi yang tidak bisa dibendung oleh masyarakatnya.
Fenomena yang terjadi di Provinsi Riau pada saat ini sangat memperhatikan, kondisi masyarakat melayu Riau saat ini sedikit banyaknya telah tergerus oleh budaya asing dan mulai meninggalkan nilai-nilai kebudayaan melayunya, seperti pergaulan para remaja yang mengarah pada budaya asing, serta pada saat ini orang-orang melayu sangat akrab dengan sebutan orang miskin, pemalas dan terkebelakang akibatnya wajah kebudayaan melayu pada saat ini sering dikonotasikan dengan hal-hal yang tidak baik. Hal lain yang membuat dilema kebudayaan melayu Riau adalah hilangnya peran pemangku adat yang kita harapkan sebagai tonggak terpancangnya kebudayaan melayu, serta hilangnya peran ulama untuk mewujudkan kebudayaan melayu yang identik dengan islam. Pada Zaman dahulu, peran kedua tokoh ini sangat urgen, dimana orang lebih memilih berkonsultasi dengan para tokoh adat dan para ulama dalam memecahkan permaslahan daerah, sebab rekomendasi-rekomendasi yang mereka tawarkan tidak jauh lari dari konsep islam yang identik juga dengan keudayaan melayu, begitu juga yang tercermin dalam kebijkan, dan kearifan lingkungan.
Eksistensi/Keberadaan Kebudayaan Melayu Riau di Tengah Arus Globalisasi
Sebelum lebih jauh menelaah bagaimana sebenarnya keberadaan kebudayaan melayu Riau di tengah arus globalisasi, ada baiknya pada makalah ini terlebih dahulu membahas sistem nilai serta norma yang menjadi ruh dari sebuah kebudayaan, agar sistem nilai dan norma itu terutama norma agama dapat diwujudkan dalam bentuk yang nyata.
Jika kepercayaan menjelaskan apa itu sesuatu, nilai menjelaskan apa yang seharusnya terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar kebenaran yang dimilki, yang diinginkan, dan yang layak dihormati. Meskipun mendapat pengakuan luas, niali-nilai pun jarang ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Namun inilah yang menentukan suasana kehidupan kebudayaan masyarakat. (Maran, 2000 : 40).
Nilai mengacu pada apa atau sesuatu yang oleh manusia dan masyarakat dipandang sebagai yang paling berharga. Dengan perkataan lain, nilai itu berasal dari pandangan hidup suatu masyarakat. Pandangan hidup itu berasal dari sikap manusia terhadap Tuhan, terhadap alam semesta, dan terhadap sesamanya. Sikap ini dibentuk melalui pelbagai pengalaman yang memadai sejarah kehidupan masyarakat yang bersangkutan. (Maran, 2000 : 40).
Jika nilai itu cita-cita abstrak, norma adalah sutau aturan khusus, atau seperangkat peraturan tentang apa yang harus dan apa yang tidak harus dilakukan oleh manusia. Norma mengungkapkan bagaimana manusia seharusnya berprilaku atau bertindak. Norma adalah standar yang ditetapkan sebagai garis pedoman bagi setiap aktivitas manusia lahir dan kematian, bercinta dan berperang, apa yang harus dimakan dan apa yang harus dipakai, kapan dan diman orang bisa bercanda, melucu, dan sebaginya. (Maran, 2000 : 41). 
Karena kebudayaan melayu Riau identik dengan islam maka ada baiknya pula kita mengetahui definisi dari pada agama, untuk lebih memperkaya pembendaharaan dari pada unsur-unsur kebudayaan. Agama merupakan tuntunan hakiki bagi manusia, sebab melalui agama manusia mampu berhubungan dengan “dunia” diseberang ruang dan waktu. Dengan agama, manusia dibimbing naik ke “atas”, ke suatu “dunia” yang penuh dengan kebahagian sejati. Tanpa agama manusia akan kehilangan seluruh orientasinya ke masa depan. Dan itu ia berarti gagal untuk menjadi manusia sempurna sesuai dengan tuntutan eksistensinya sebagai makhluk ciptaan. Dengan perkataan lain, tanpa agama manusia akan kehilangan jati diri kemanusiannya. (Maran, 2000 : 69).
Dengan telah mengetahui apa itu nilai, norma dan agama yang menjadi titik tumpu ataupun ruh dari kebudayaan maka tiada kata yang diharapkan adalah terciptanya sebuah kebudayaan yang ideal, sebab dengan kebudayaan yang ideal inilah kita dapat mempertahankan keberadaan dari budaya itu, khusunya kebudayaan melayu. Serta juga dengan terwujudnya kebudayaan yang ideal ini akan mampu mengatsi pusaran masalah yang dihadapi oleh daerah yang dilanda degradasi kebudayaan dari luar, untuk dapat mempertahankan sistem nilai, norma, dan agama agar mampu membentengi generasi mudanya untuk terhindar dari tindakan yang tidak bermoral serta konotasi-konotasi negatif lainnya yang disematkan kepada penganut kebudayaan melayu Riua.
Tulisan ini ingin meneliti beberapa gagasan nilai yang dianggap dalam sistem budaya, masyarakat dan  pribadi melayu. Keperluan dari sebuah nilai adalah karena sistem nilai ternyata menjadi motivasi, pendorong maupun penghalang terhadap kelakuan serta tindakan manusia melayu dalam rangka interaksi dengan kelompok sendiri maupun kelompok lain. Dalam dunia yang pesat menjadi global, maka nilai ini akan berfungsi dan berperan sebagai peneguh kepada kegiatan dan aktiviti dalam semua bidang kehidupan ekonomi, poltik, sosial, maupun budaya. (Kling, 2001 : 134).
Maka dengan ini wujud ideal adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagianya. Wujud ini disebut ideal, karena sifatnya yang abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Ia terdapat dalam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Menurut Koentjaraningrat, wujud ideal kebudayaan disebut juga adat atau kelakuan, atau disingkat saja dengan adat, atau dalam bentuk jamaknya adat-istiadat. Disebut tata-kelakuan, karena fungsinya sebagi pengatur, pengendali, dan pemberi arah bagi kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Adat mempunyai beberapa lapisan, yakni : sistem nilai budaya, norma-norma, sistem hukum, dan peraturan-peraturan khusus. Sistem nilai budaya merupakan tingkat paling abstrak dari adat. (Maran. 2000 : 49).
Berbicara masalah nilai, norma dan agama maka kebudayaan melayu Riau memiliki nilai, norama yang patut kita junjung tinggi agar tercipatnya wujud kebudayaan yang ideal, dengan hal ini maka kebudayaan melayu Riau mampu menerjang arus globalisasi yang tengah menerjang kebudayaan ini, sehingga kebudayaan melayu Riau memiliki eksistensi yang kokoh dan juga mampu mempengaruhi budaya asing yang masuk ke Provinsi Riau.
Pada dasarnya kebudayaan melayu Riau mempunyai sistem nilai dan norma yang begitu sangat bagus, tentunya sistem nilai ini bisa menjadi tameng untuk melawan budaya luar yang masuk ke Provinsi Riau. Orang Riau sebagai masyarakat majemuk dengan masih eksisnya jati diri budayanya dan nilai-nilai luhur universalnya yang dikandungnya, telah menunjukan bahwa masyarakatnya beradap dari dulu sampai kini. Berdasarkan bukti kesejarahan dan nilai filosofis budaya Melayu, diyakini akan tetap membawa orang Riau mampu menjadi tuan di rumahnya sendiri. Kebudayaan Melayu sebagai pemikiran, gagasan, ide, segala aktivitas, nilai-nilai dan benda yang dihasilkan akan senantiasa mampu membawa masyarakatnya bahagia dan sejahtera dalam era tantangan global. (Suwardi MS, 2008 : 76).
Pembicaraan tentang nilai sutau hal yang sangat menarik. Nilai berpangkal pada noram-norma, aturan hukum, kaidah maupun berbagai ketentuan. Pada dasarnya ada 3 sistem nilai yang cukup dominan dalam kehidupan orang melayu di Riau. Ketiganya ialah Islam, adat dan resam (kebiasaan). Dengan demikian, tingkah laku orang melayu di rantau ini dalam berbagai situasi kultural dan keagamaan, akan merujuk atau mempertimbangkan norma-norma Islam, adat dan resam. Sistem nilai yang 3 inilah yang amat besar pengaruhnya dalam pembentukan pandangan hidup, sikap dan prilaku mereka. Tata nilai islam dipandang oleh orang Melayu dapat memenuhi kebutuhan hidup di dunia, serta dapat pula diharapkan untuk menghadapi kematian, menuju kehidupan yang kekal di akhirat. Nilai-nilai ajaran Islam dipandang sempurna tanpa cacat dan tiada diragukan kebenarannya, sebab norma-normanya berasal dari wahyu Allah. (Hamidy, 1996 : 96-97).
Bagaimanakn tidak kebudayaan melayu Riau mempunyai eksistensi yang kuat, dan seharusnya mampu membentengi dirinya dari kebudayaan asing yang berasal dari proses arus globalisasi, karena kebudayaan melayu Riau mempunyai nilai yang amat begitu luhur, kebudayaan melayu Riau bukan hanya berpatok kepada nilai semata, tetapi di atas sistem nilai itu ada aturan yang hakiki yang meminta nilai untuk patuh terhadapnya, yakni sistem nilai Islam. Secara tidak langsung pandangan hidup, tingkah laku, dan pola-pola yang lainya berpatok kepada nilai Islam, seperti pepatah adat mengatakan “adat bersandi sarak, sarak bersandikan kitabullah”. Lebih dari itu sistem nilai agama Islam sebagai nilai yang paling utama. Nilai-nilai agama Islam dipandang sebagai barometer terhadap nilai-nilai yang lain seperti adat dan tardisi. Nilai-nilai agama itu berfungsi sebagai penyaring nilai-nilai yang lain dalam kehidupan di perkampungan suku melayu di Riau sehingga nilai-nilai agama dapat dipandang berada di atas nilai-nilai yang lainya. Nilai yang lain diperkaya nilai-nilai agama atau merupakan pelengkap bagi nilai-nilai yang tidak dieksplisitkan oleh Islam. (Hamidy, 2011 : 49).
Bagaimanakan tidak kuatnya keberadaan kebudayaan melayu Riau, dalam artian eksistensinya. Sebab nilai yang sesungguhnya terkandung didalam kebudayaan melayu Riau adalah, sistem nilai Islam, yang langsung bersumber pada Al-quran dan Al-hadist yang diwahyukan oleh Allah SWT, kepada orang terbaik dimuka bumi ini Muhammad SAW, rasul Allah melalui malaikat Jibril. Sungguh begitu tinggilah titah dari kebudayaan melayu Riau. Sehingga sampai akhir zaman pun kebudayaan melayu akan tetap eksis, dikarenakan budaya melayu Riau identik dengan Islam yang mulia.
Faktor kenapa banyaknya fenomena-fenomena yang terjadi dikehidupan masyarakat melayu Riau yang tidak sesuai dengan nilai dan norma kebudayaan, diakibatkan karena masyarakat melayu Riau pada intinya telah jauh dari pada nilai Islam itu sendiri dan tidak menanamkan nilai islam ataupun nilai kebudayaan secara mendalam dalam dirinya, mereka tidak merasa percaya diri dengan nilai luhur yang dimilikinya sejak mereka lahir pada dasarnya.
Lebih lanjut, masih banyak nilai dari kebudayaan melayu yang begitu indah dan harmonis yakni seperti yang dikatan Hamdani kebudayaan melayu itu mempunyai nilai-nilai luhur, nilai luhur itu adalah :
1.    Nilai Gotong Royong, gotong royong telah mendarah daging dalam tubuh mereka. dengan bergotong royong yang ringan sama dijinjing yang berat sama dipikul.
2.    Nilai Taat Pada Hukum (law enfeorement), orang melayu sangat mementingkan penegakkan hukum untuk keamanan, ketertiban dan kemakmuran masyarakat. Seperti ungkapan Melayu biar mati anak dari pada mati adat, mati anak gempar sekampung, mati adat gempar sebangsa.
3.     Nilai Keterbukaan, masyarakat Melayu masyarakat yang terbuka, hal ini disebabkan adanya interaksi bersama masyarakat luar dan membuka hubungan dengan dunia Internasional.
4.    Nilai Adil Dan Benar, masyarakat Melayu sangat concern terhadap nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
5.    Nilai Musyawarah dan Mufakat, orang Melayu mengutamakan musyawarah sebagai sendi kehidupan sosial. Nilai-nilai luhur Melayu yang dikatakan oleh Hamdani ini, hanya bisa diwujudkan apabila masyarakat Riau berperan serta berpartisipasi untuk mewujudkan nilai budaya melayu itu sendiri, terutama dalam mewujudkan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu sebagai cita-cita Riau. (Hamdani, 2004 : 44-46).
Adapun bantahan terhadap konotasi-konotasi orang melayu itu pemalas, tertinggal dan sebaginya dapat juga terbantahkan dengan sistem nilai yang terkandng dalm kebudayan melayu yang dikatakan oleh UU Hamidy diantaranya adalah :
1.    Sistem Nilai Dan Etos Kerja
UU Hamidy mengatakan Nilai-nilai yang diberiakan oleh agama Islam dan adat (seperti misalnya dalam masyarakat rantau kuantan, kampar dan rambah) pada prinsipnya mempunyai etos kerja yang positif. Bagaimana seseorang harus menghadapi kepentingan dunia dengan mempergunakan waktu demikian rupa sehingga tidak ada yang terbuang percuma, amat tegas sekali ditetapkan dalam sistem nilai agama Islam. Sejajar dengan itu beberapa daerah pedesaan di Riau yang masih menerima adat sebagai suatu sistem nilai juga memberikan dasar-dasar yang amat kokoh tentang bagaimana seseorang seharusnya mempertimbangkan masa depannya.
2.    Nilai Tradisonal Melayu Dan Pembangunan
Hendaknya pembangunan yang ada di Provinsi Riau senantiasa memperhatikan nilai tradisonal Melayu yakni adat serta kebudayaan yang mengikatnya. Jangan samapai seperti apa yang dikatakan Hamidy pembangunan kita yang terlalu mengutamakan penanaman modal sebanyak-banyaknya, telah mengabaikan nilai-nilai adat yang berlaku di berbagai daerah. Sebab, jika ketentuan adat itu diberlakukan maka pembebasan tanah yang diperlukan oleh pemilik modal belum tentu akan berhasil.
3.    Kearifan Sisitem Sosial
Hamidy mengatakan untuk menjaga lalu lintas kehidupan masyarakat adat, maka masalah nikah-kawin dan percerain juga dipandu oleh adat Melayu di Riau. Hukum mengenai syarat dan sahnya nikah kawain merujuk sepenuhnya kepada agama Islam, sebab adat itu harus bersendikan agama (syarak). Ketentuan adat ini jelas mengandung prinsip keadilan, sehingga keharmonisan hubungan sosial tidak samapai rusak oleh peristiwa perceraian. Begitu pentingnya adat untuk mengawal kehidupan masyarakat sehingga orang Melayu samapai mengatakan “biar mati anak jangan sampai mati adat”. Ungkapan ini bermakna, anak atau siapa saja tentunya akan mati, tetapi kematian seseorang itu janganlah memebuat adat tidak berlaku. Sebab kematian adat (hukum) dapat merusak kehidupan. Jadi, janganlah adat hendaknya bergantung pada hidup mati seseorang, tetapi terpeliharalah oleh masyarakat yang memerlukannya. Ungkapan Hamidy di atas menujukkan pentingnya seseorang ataupun masyarakat yang memegang teguh adat kebudayaan Melayu untuk berperan serta berpartisipasi dalam memeliharanya, karena urgensi adat kebudayaan Melayu itu bukan hanya sebatas simbol, tetapi merupakan nilai yang mengatur kehidupan sosial masyarakat atau kearifan sistem sosial.
4.    Kearifan Sistem Budaya
Hamidy menegaskan bahwa sistem budaya masyarakat Melayu di Riau mempunyai muatan yang cukup baik untuk mengelola lingkungan dengan gaya yang harmonis, Dalam sistem budata orang Melayu di Riau bisa terbaca dengan jelas bagaimana nilai-nilai budaya mereka memberi pedoman dan arah, agar lingkungan dapat terpelihara. semuanya tergandung dalam berbagai aspek budaya mereka, baik secara lisan maupun dalam tindakan perbuatan yang nyata.
Perhatikanlah perumpamaan Melayu yang berbunyi “bagaikan aur dengan tebing”. Medan makna perumpamaan itu melukiskan betapa eratnya kesatuan aur dengan tebing. Aur memerlukan tebing untuk tumbuh, ztetapi tebing jadi selamat (tidak runtuh) karena ada aur. ini menggambarkan kearifan sistem budaya yang saling memperhatikan satu dengan yang laingya, agar terciptanya hidup yang saling memerlukan dan saling menguntungkan dalam tatanan yang harmonis.
5.    Kearifan Memakai Perkakas Dan Peralatan (Teknologi)
Tetua Melayu memandang alam atau lingkungan hidup, bukan hanya sumber nafkah sebatas hajat hidup kebendaan semata. Tetapi juga amat berguna untuk kenyamanan dan ketenangan, karena alam yang terkembang tak dapat dinafikan, telah memberi ibarat serta keindahan bagi suasana kehidupan. Dari sudut pandang kearifan tardisional serupa itu, perkakas dan peralatan (sistem teknologi) puak Melayu di Riau, juga telah dirancang dan digunakan dengan sudut pandang yang mencintai alam. Berbagai perkakas (alat yang dipakai untuk bekerja) hampir dapat dikatakan ramah terhadap lingkungan.
Perhatikanlah perkakas pertanian orang melayu di Riau seperti beliung (untuk menebang) kampak (untuk memebelah) lading atau parang (untuk menebas) tajak (untuk besiang) cabak (untuk membalikan lempeng tanah) sabit (untuk memotong rumput) tembilang (untuk menggali) dan berapa lainnya lagi. Semua perkakas ini jika dipakai, tidak ada yang punya potensi untuk merusak lingkungan hidup samapi batas membahayakan. (Hamidy, 2011 : 56-105).

Argumentasi/Penerapan Sistem Nilai Kebudayaan Melayu di Dalam Perwujudan Nyata.
Menurut Hasanudin. WS, ada beberapa faktor dasar memelihara dan mengembangkan kebudayaan, pemeliharaan dan pengembangan budaya, termasuk keinginan untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan melayu, seharusnyalah diletakan pada kerangka proses kebudayaan yang mencakup segi-segi kehidupan bangsa . Pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan tersebut harus diorientasikan kepada upaya menumbuhkan rasa memiliki harga diri dan keinginan untuk dihargai pihak lain. Pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan ditujukan agar pemilik kebudayaan yang dipelihara dan dikembangkan merasa kuat, mampu, kompeten, mandiri dan bebas di mata dunia. Selanjutnya berkeinginan memperoleh reputasi, prestise, dan apresiasi dari luar. Hal itu berujung pada rasa percaya diri, menumbuhkan kebanggaan kultural, patriotisme, menghilangkan rasa rendah diri dari bangsa atau suku bangsa lain. Menurut Poespowardojo paling tidak ada empat pilar utama atau empat faktor dasar yang harus diperhatikan untuk tujuan memelihara dan mengembangkan kebudayaan, Keempat faktor yang dimaksud itu adalah : 1. Manusia sebagai individual. 2. Lingkungan. 3. Peralatan. 4. Komunitas. (Hasanudin WS, 2003 : 134).
Upaya mengankat orang melayu dan budaya melayu ketarap yang lebih terhormat, hendaknya menjadi salah satu sasaran pembangunan di Bumi Lancang Kuning. Dan menjadikan salah dasar pembangunan provinsi Riau, di mana pembangunan yang berbasis keislaman dan tetap bercirikan budaya melayu. kegiatan pembangunan di Provinsi Riau hendaknya mengacu kepada suatu pembangunan yang dirancang secara baik dan mampu memberikan pengayoman kepada semua komponen masyarakat dan tetap memelihara serta menumbuh kembangkan budaya melayu yang islami. Artinya pembangunan yang dilaksanakan bernuansa pembangunan yang berbasiskan kerakyatan, dan harus dilakukan oleh pemerintah provinsi Riau bersama-sama masyarakat itu sendiri. Mengapa hal ini harus dilakukan, karena ada statemen yang menyatakan bahwa masyarakat dikawasan ini pada umumnya berbudaya melayu dan melayu itu adalah Islam. (Husni Thamrin, 2007 : 5).
Dari beberapa urai di atas menegaskan bahwa penerapan nilai kebudayaan yang luhur itu dapat diwujudkan dengan cara menanamkan nilai kebudayan kepad individu, lingkungan, perlatn dan komunitas. Serta dapat mewujudkannya dalam bentuk pembangunan lokal diprovinsi riau yang berorientasi kepada nilai-nilai kebudayaan melayu dan berbasiskan kebudayaan riau yakni dengan cara pembangunan berbasiskan kerakyatan, sejalan dengan itu juga hendaknya Provinsi Riau juga mampu kembali menghidupkan pemangku adat dan memberikan peran kepada para ulama untuk memformulasikan kebijakan yang ada di Provinsi Riau, sebab keberhasilan penanaman kebudayaan itu tidak hanya ada pada satu sisi pemangku saja, maka dari itu salah satu dari nilai kebudayaan melyu itu adalah dengan bergotong royong begitu juga dengan perwujudan kebudayaan yang kuat, oleh karena itu semua pihak hendaknya terlibat dalam memlihara dan melestariakn kebudayaan budaya melayu, apalagi tantangan begitu berat ditengah arus globalisasi.
Selain dari pada itu ada hal yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam membangun Provinsi Riau sebagai pusat kebudayaan melayu, yakni yang perlu diperhatikan itu adalah pilar pembangunan kebudayaan. Ada lima pilar pembangunan kebudayaan yang harus dijalankan secara bersama dengan peran aktif serta partisipasi adapun lima pilar pembangunan kebudayaan itu adalah :
Pemerintah, pemerintah sebagai fasilitator dalam terwujudnya pembangunan kebudayaan, khususnya pembangunan kebudayaan Melayu.
Seniman/senimwati yang berdedikasi dalam memelihara dan mengembangkan kebudayaan yakni mereka yang senantiasa sebagai lokomotif (penggerak) kebudayaan sekaligus pelakon.
Dunia swasta yang memberikan donasi, peran aktif dunia swasta juga sangat diharapkan sebagai donatur untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan.
Media, media dituntuk untuk alat publikasi dalam menyebarluaskan kebudayaan kepada masyarakat agar masyarakat mengenal kebudayaannya.
Masyarakat Partisipasi, tanpa adanya keikut sertaan masyarakat dalam mendukung pilar yang disebutkan, maka kebudayaan tidak dapat dikembangkan. Kelima pilar pembangunan di atas haruslah dijalankan secara bersama agar terwujudnya pembangunan kebudayaan secara utuh, untuk itu sinergisitas dan koordinasi antar kelima pilar ini dapat dijalankan dengan baik.

Kesimpulan
Pada dasarnya arus golobalisasi yang menggerus kebudayaan melayu Riau dapat dapat dibentengi dengan kebudayaan melayu itu sendiri, sebab kebudayaan melayu Riau mempunyai sistem nilai yang begitu erat kaitannta dengan sistem nilai Islam. Bahkan Sistem nilai Islam merupakan barometer dari sistem nilai yang ada di sistem nilai kebudayaan melayu.
Sistem nilai yang paling dominan yang ada pada kebudayaan melayu itu ada tiga yakni. sistem nilai isalm, adat dan resam (kebiasaan) ketiga sistem nilai ini adalah sistem Islam. Sedangkan sitem nilai yang lain hanyalah sebagai pelengkap dari sistem nilai yang eksplisit yang tidak disebutkan dalam sistem nilai Islam.
Kebudayaan melayu Riau sangat identik dengan Islam karena semua pandangan hidup orang melayu, tingkah laku dan pola-pola lainya telah dipengarugi oleh Islam. Oleh karena itu sistem nilai islam itu hendaknya dapat diwujudkan dalam bentuk nyata yang tergambar dari wjud kebudayaan ideal, melalui individu, lingkungan, pembangunan, alat teknologi dan komunitas.

Saran
Sebelum mengakhiri penulisan karya ilmiah ini, penulis memberikan saran sebagai berikut :
1.      Pemerintah sebagai fasilitaor dapat menamkan nilai-nilai kebudayaan melayu ke dalam bentuk pembangunan dan melibatkan masyarakat dalam hal kebijakan langsung maupuntidak langsung.
2.      Masyarakat hendaknya menggali nilai-nilai budaya melayu yaang telah pudar, mengaktifkannya dalam bentuk permainan atau keramain, serta memelihara nilai-nilai budaya itu dan juga mengembangkan nilai-nilai budaya.
3.      Memeberikan bantuan moril atupun materil kepada lembaga-lemabaga yang tugas dan fungsinya fokus kepada masalah kebudayaan melayu di Riau, sebagai penujang pemeliharaan dan pelestarian budaya melayu.

Daftar Pustaka
Buku                
Datuk Zainal Kling, Editor Ahmad Jamaan, Melayu, Negeri Rindu Prosiding Makalah Sempena Pertemuan Alam dan Pemikiran Melayu Sedunia, Batam, Oktober 2000, Pusat Pengajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 2001.
Elly M. Setiadi, M.Si, et al, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Edisi Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012.
Hamdani dkk., Good Gavernance dalam Perspektif Budaya Melayu, UNRI Press, Pekanbaru, 2004.
Hasanuddin, W, Penyelengara Elmustian Rahman, Tien Marni, Zulkarnaen, Alam Melayu Sejumlah Gagasan Menjemput Keagungan, Unri Press, Pekanbaru, 2003.
Husni Thamrin, ed, Fenomena Budaya, Sosial-Agama dan Pendidikan, Lembaga Penelitian & Pengembangan UIN Suska Riau, Pekanbaru, 2007.
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Ketiga, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.
Joko Tri Prasetya. dkk, Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, Jakarta, 2004.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok-pokok Etnografi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005.
M. Munandar Sulaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011.
Paul Hirst dan Grahame Thomson, Globalisasi Adalah Mitos, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2001.
Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, PT. rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Suwardi MS, Dari Melayu ke Indonesia Peranan KebudayaanMelayu dalam Memperkokoh Identitas dan Jati Diri Bangsa,Pusta Pelajar, Yogyakarta, 2008.
UU Hamidy, Jagad Melayu Dalam Lintasan Budaya di Riau, Bilik Kreatif Press, Pekanbaru, 2011.
UU Hamidy, Gambaran Orang Melayu di Riau, UIR Press, Pekanbaru, 1996.
Usman, Husaini. Purnomo, Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2011.

Dokumentasi
Undang-Undang Dasar Republik Indinesia 1945
Internet http://www.studentmagz.com.
Sumber Siaran RRI Pro 1 Pekanbaru, Minggu 30 September 2012, Pukul 13.15 WIB.












Thanks for reading EKSISTENSI KEBUDAYAAN MELAYU DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 comments:

Post a Comment