PENATAAN SISTEM HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BERDASARKAN PANCASILA
SEBAGAI SUMBER SEGALA SUMBER HUKUM NEGARA
Oleh
MHD. HIMSAR SIREGAR, S.Sos., M.Si & ALSAR ANDRI, S.Sos., M.Si
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) merupakan Negara hukum atau yang dikenal dengan istilah rechtsstaat atau sejalan dengan istilah rule of law, hukum lah mengatur dan menjadi panglima di Negara ini, bukan malah
sebaliknya Indonesia dijalankan tanpa aturan atau hukum sebagaimana Negara
rimba siapa yang kuat dia yang berkuasa, atau malah Indonesia ini dijalankan
semata-mata berdasarkan kekuasaan semata atau disebut dengan istilah machtsstaat. Tentu ini akan memberikan
kewenangan yang terpusat sehingga akan membentuk oligarki.
Oleh sebabnya, Indonesia sangat
penting untuk memandang hukum sebagai suatu yang sakral dan sakti. Karena
memang hukum bertujuan dan berfungsi sebagai pencipta keteraturan. Tanpa hukum,
maka Indonesia bisa saja tidak akan mencapai tujuan bernegera, ini sebagai mana
yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai penjamin setiap
hak nyawa warga Negara.
Maka dari itu, segala tindak
tanduk pemerintah dan pemerintahan haruslah berlandasakan hukum, dengan artian
segala yang dilakukan, diperbuat harus tertera dalam hukum yang jelas dan
legal, jika tidak tindakan ini dapat dinamakan sebagai tindakan inkonstitusional sehingga perbuatan yang
di lakukan, diperbuat oleh pemerintahan itu dapat dibantah karena memang tidak
meiliki dasar yang jelas dan legal formal.
Oleh karenanya, Indonesia yang
dikatakan sebagai Negara hukum tadi disebut rechtsstaat
bukan Negara kekuasaan semata machtsstaat,
perlu menata hukum ini sebagaimana seyogyanya dan seidealnya, agar hukum ini
memang benar-benar memiliki ruh yang suci, sakral dan sakti sehingga hukum ini
benar-benar menjadi panglima di Negara Indoensia yang megah ini.
Langkah tersebut memang
tidaklah semudah membalik telapak tangan, menjadikan hukum sebagai panglima
tertinggi di Negara Indonesia, yang hukumnya sendiri sudah tergerus dan ada pameo yang beredar bahwa hukum tidaklah
dapat mengatur, tetapi sudah diatur, hukum hanya berlaku bagi yang tidak punya
uang sedangkan yang punya uang tidak berlaku, ibarat kata hukum tajam ke bawah tapi
tumpul ke atas.
Dari itu, perlulah pula
untuk menata kembali sistem hukum itu sendiri agar terlihat lebih garang dan
beringas demi kepentingan keteraturan bernegara. Penataan itu dapat bermula
dari memaknai Pancasila sebagai benda hidup yang sakti, mengambil semangat
Pancasila kembali, serta mengamalkan kembali butir-butir Pancasila sebagai
idiil bangsa ini itulah adanya hari kesaktian Pancasila.
Indonesia memposisikan
Pancasila sebagai ideologi bangsa ataupun falsafah bangsa Indonesia. Dasar
Negara Pancasila ini berkedudukan yang tinggi, karena memang norma dan nilai yang
termaktub dalam Pancasila dan butir-butirnya merupakan akumulasi
pengejawantahan sistem nasional yang ada pada setiap daerah di Indonesia.
Nilai-nilai luhur dan
kearifan lokal (local wisdom) bangsa
ini, yang menjadi sumber energi, sumber masukan dan sumber inspirasi dari
lahirnya Pancasila sebagai poros tengah ideologi dunia yakni
kapitalis-sosialis.
Pancasila merupakan
dasar serta landasan ideologi bagi bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar Negara,
berarti Pancasila dijadikan pedoman dalam bertingkah laku dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila sebagai dasar Negara
juga mendasari pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta menjadikan
cita-cita hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan Negara Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara atau idiologi bangsa memposisikan sebagai posisi tertinggi dan nilai-nilai dan norma-norma yang luhur, maka semangat ini dapat ditularkan pada pembentukan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Negara.
PEMBAHSAN
Definisi
Hukum, Sistem Hukum dan Perundang-Undangan
Pengertian
Hukum
Kata hukum berasal dari
bahasa Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang selanjutnya diambil alih
dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Di dalam pengertian hukum terkandung
pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melaksanakan paksaan.
Recht
berasal dari “Rectum” (bahasa latin)
yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan atau pemerintahan. Bertalian dengan
Rectum dikenal kata “Rex” yaitu orang yang pekerjaannya
memberikan bimbingan atau memerintah. Rex
juga diartikan “Raja” yang mempunyai Regimen
yang artinya kerajaan. Kata Rectum
dapat juga dihubungkan dengan kata “Directum”
yang artinya orang mempunyai pekerjaan membimbing atau mengarahkan. Kata-kata Direktur atau Rector mempunyai arti yang sama. Kata Recht atau bimbingan atau pemerintahan selalu didukung oleh
kewibawaan. Seorang yang membimbing, memerintah harus mempunyai kewibawaan.
Kewibawaan mempunyai hubungan erat dengan ketaatan, sehingga orang mempunyai
kewibawaan akan ditaati oleh orang lain. Dengan demikian perkataan Recht mengandung pengertian kewibawaan
dan hukum atau Recht itu ditaati
orang secara suka rela. Dari kata Recht
tersebut timbul juga istilah “Gerechtigdheid”
ini adalah bahasa Belanda atau “Gerechtigkeit”
dalam bahasa Jerman berarti keadilan, sehingga hukum juga mempunyai hubungan
erat dengan keadilan. Jadi dengan demikian Recht
dapat diartikan hukum yang mempunyai dua unsur penting yaitu “kewibawaan dan
keadilan”.
Kata Ius (Latin) berarti hukum, berasal dari bahasa latin “Iubere” artinya mengatur atau
memerintah. Perkataan mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur dan
memerintah itu mengandung berpangkal pokok pada kewibawaan. Selanjutnya istilah
Ius bertalian erat dengan “Iutitia” atau keadilan. Pada zaman
dahulu bagi orang Yunani Iustitia
adalah dewi keadilan yang dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua
matanya tertutup dengan tangan kirinya memegang neraca dan tangan kanan
memegang sebuah pedang.
Kata Lex berasal dari bahasa latin dan berasal dari kata “Lesere”. Lesere artinya mengumpulkan ialah mengumpulkan orang-orang untuk
diberi perintah. Jadi disini terkandug pula berarti hukum sangat erat kaitannya
dengan perintah dan wibawa.[1]
Pengertian
Sistem Hukum
Undang-undang merupakan
salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya, proses pembentukan
undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh Negara
tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga, untuk mengkaji pembentukan
undang-undang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum
itu sendiri.[2]
Sebagai suatu sistem hukum,
hal ini menunjukkan hukum dalam arti in
action, yaitu hukum dalam mekanismenya atau dalam proses adalah terlibatnya
elemen hukum di samping hukum dalam arti subtantif baik tertulis dan tidak
tertulis. Selanjutnya, terlibat pula hukum dalam arti struktur, yaitu proses
atau institusi atau aktor hukum, terakhir terlibat pula hukum dalam arti
kultur, yaitu berupa budaya hukum. Friedman menyatakan sistem hukum yang tengah
berlaku (beroperasi) itu berisikan 3 (tiga) komponen antara lain sebagai
berikut :
1. Komponen
struktural, yaitu bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme, misalnya
pengadilan sebagai suatu contoh yang jelas dan sederhana. Ia mempunyai mahkamah
hakim yang bersidang di tempat tertentu, dengan batas yurisdiksi (proses) yang ditentukan, demikian pula kejaksaan,
kepolisian (sebagai institusi) merupakan contoh dari komponen struktural ini.
2. Komponen
kedua adalah subtansi, yaitu ketentuan-ketentuan, alasan, alasan hukum atau
kaidah-kaidah hukum (termasuk yang tidak tertulis), yang merupakan hasil aktual
yang dibentuk oleh sistem hukum.
3. Komponen
ketiga adalah sikap publik dan nilai-nilai atau budaya hukum yang memberikan
pengaruh positif atau negative kepada tingkah laku yang bertemali dengan hukum
atau pranata hukum. Dalam wujudnya, budaya hukum ini dalam hubungannya dengan
sistem hukum menentukan apakah orang akan mendayagunakan pengadilan, polisi
atau jaksa dalam menghadapi sesuatu kasus. Disini budaya hukum menentukan
apakah komponen struktural dan komponen subtansi dalam sistem hukum mendapat
tempat logis, sehingga menjadi milik masyarakat.[3]
Apa yang dikemukan Friedman
di atas tidak lain adalah penjabaran hukum sebagai “suatu sistem”. Dalam
pratiknya, hukum sebagai sistem maka ketiga komponen itu mempunyai hubungan
yang erat sekali. Struktural, dipengaruhi secara timbal balik oleh subtansi dan
demikian pula struktural dan subtansi dipengaruhi pula oleh komponen sikap
publik dan nilai-nilai.[4]
Pengertian
Undang-Undang
Dalam UUD 1945, tidak terang
apa lingkup batasan pengertian undang-undang. Pasal 20 UUD 1945 hanya menyebut
kewenangan DPR untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama dengan
pemerintah. Pasal 24C ayat (1) hanya menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Istilah yang dipakai adalah
“undang-undang” dengan huruf kecil.
Biasanya, penggunaan huruf
besar “Undang-Undang” dipahami dalam arti nama atau sebutan undang-undang yang
sudah teretntu (definite), mislanya
dengan nama dan nomor tertentu, seperti Undag-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Jika digunakan hurud kecil “undang-undang” maka yang dimaksudkan adalah kata undang-undang dalam arti
umum atau belum tertentu atau terkait dengan nomor dan judul tertentu. Dengan
kata lain, “undang-undang” adalah genus, sedangkan “Undang-Undang” adalah perkataan yang terkait
dengan undang-undang tertentu atau dikaitkan dengan nama tertentu.[5]
Jika demikian, maka
undang-undang itu dapat dipahami sebagai naskah hukum dalam arti luas, yang
menyangkut materi dan bentuk tertentu. Jeremi Bentham dan John Austin, misalnya
mengaitkan istilah ‘legislation’ sebagai
“any form of law-making”. “The term is,
however, restricted to a particular form of law-making, viz. the declaration in
statutory form of ruler of laws by the legislature of the state. The law that
has its source in legislation is called enacted law or statute or written law”.
Dengan demikian, bentuk peraturan yang dikaitkan dengan pengertian “enacted law”, “statute” atau
undang-undang dalam arti luas.[6]
Pembentukan norma hukum yang
bersifat umum dan abstrak (general and
abstract legal norm) berupa peraturan yang bersifat tertulis (statutory form), pada umumnya didasarkan
atas beberapa hal. Pertama, pembentuknnya
diperintahkan oleh undang-undang dasar; Kedua,
pembentukannya dianggap perlu karena kebutuhan hukum. Ketentuan mengenai
prosedur pembentukan undang-undang telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undag-undang
ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan
merupakan slah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya
dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan
standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan, maka Negara Republik Indonesia sebagai Negara yang berdasar
atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan
perundang-undangan.[7]
Definisi
Sistem Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia dan Sumber Hukum
Pancasila
Sebagai Ideologi Bangsa
Sebagai dasar (falsafah)
Negara, Pancasila secara konstitusional disahkan pada 18 Agustus 1945 merupakan
pandangan hidup, ideologi nasional dan ligature
(pemersatu) dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Dalam posisinya seperti ini,
Pancasila juga menjadi sumber jati diri, kepribadian, moralitas dan haluan
keselamatan bangsa. Lebih jauh, Latif (2011) dengan sangat antusias melukiskan
Pancasila sebagai dasar statis yang mempersatukan, sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis yang mengarahkan
bangsa ndonesia dalam mencapai tujuannya. Hal itu terurai dengan sangat jelas
dan runut dalam sila-sila Pancasila, sebagai berikut ini :
1. Sila
Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia mengakui bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta dan manusia adalah ciptaan-Nya. Negara Indonesia berhasil didirikan atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa. Indonesia bukan Negara sekuler juga bukan Negara teokrasi.
2. Sila
Kedua Pancasila, Kemanusian yang Adil dan Beradab
Bangsa Indonesia menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusian universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam
dan sifat-sifat sosial manusia yang dianggap penting fundamen etika politik
kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia.
3. Sila
Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia
Prinsip kebangsaan Indonesia mempunyai
fondasi yang kuat, yaitu Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dalam internalisasi
nilai-nilai persaudaraan kemanusian ini, Indonesia adalah Negara persatuan
kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dan
kebhinekaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan persatuan yang
diuangkapkan sebagai “Bhineka Tunggal Ika”.
4. Sila
Keempat Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawartan-Perwakilan
Sila keempat dari Pancasila menunjukan
bahwa Negara Indonesia merdeka adalah Negara yang berdasarkan kerakyatan
(demokrasi). Demokrasi yang berdasarkan kerakyatan adalah suatu proses yang
melibatkan sejarah kebangsaan Indonesia dan menjadi proses penting kenegaraan Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
5. Sila
Kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Bangsa Indonesia yang menghendaki
terwujudnya keadilan sosial, yaitu terwujudnya keserasian antara peran manusia
sebagai mahkluk individu dan makhluk sosial, keserasian antara hak sipil dan
politik dengan ekonomi sosila budaya.[8]
Dari sila-sila Pancasila
yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa berbeda dengan dasar falsafah
Negara yang berasal dari Eropa baik yang didasarkan kepada kontrak seluruh
individu dalam masyarakat (contract
sociale dari Hobbes, JJ Rouseau), teori kelas (class theory Hegel dan Adam Muller). Dasar falsafah Negara
Indonesia terbentuk atas kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial.
Karena itu Negara mengatasi semua golongan yang ada dalam masyarakat, Negara
tidak memihak pada satu golongan yang ada, karena Negara adalah masyarakat itu
sendiri. Sebagai falsafah Negara, Pancsila merupakan produk dari suatu proses
hasil pergerakan perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan
didasari oleh pandangan ontologis
tentang hakikat manusia sebagai subjek pendukung Negara.[9]
Nilai-nilai dan norma-norma
dasar kenegaraan terangkum dalam Pancasila. Indonesia berakar dari sejarah,
agama, adab atau budaya, serta hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang
saat NKRI masih berbentuk kerajaan. Pancasila yang dijadikan sebagai ideologi
Negara mula-mula digagas dan disampaikan oleh Muhammad Yamin saat berpidato
pada 29 Mei 1945. Oleh Soekarno, pada 1 Juni 1945, kemudian dikemukan gagasan
serupa dengan subtansi yang sama.
Perjalanan Pancasila sebagai
dasar Negara tak pernah sepi dari berbagai ancaman dan penyimpangan. Di masa
Soekarno misalnya, Pancasila dibuntuti oleh kelompok komunis yang hendak
mengganti dasar Negara tanpa Tuhan (Negara Komunis). Haluan politik Soekarno
yang lebih condong ke Soviet pada waktu itu, menjadi jembatan emas
kelompok-kelompok komunis untuk melegitimasi aksi-aksinya.[10]
Setali tiga uang, Soeharto
yang pada awalnya tampil gagah membela Pancasila, termasuk propaganda Soeharto
yang seolah menyelamatkan Pancasila dalam peristiwa berdarah 30 September 1965,
yang kemudian dikenal sebagai Hari Kesaktian Pancasila, saat Pancasila berusaha
diganti dengan komunisme anti tuhan yang sama sekali jauh dari jiwa bangsa
Indonesia. Dalam rentang waktu 32 tahun pemerintahan Soeharto, Pancasila
menjadi hantu dan momok yang menakutkan bagi rakyat. Dalih menciptkan
stabilitas yang dibungkus dengan niat ingin melanggengkan kekuasaan, menjadi
alasan tindkan refresif rezim Soeharto (Orde Baru).[11]
Pancasila sebagai dasar
Negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia harus dihayati secara mantap dan
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Sudah menjadi keyakinan, bahwa
segenap bangsa Indonesia akan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 secara murni dan konskwen, mengingat hal tersebut pada hakekatnya
merupakan inti pokok sejarah bangsa dan Negara Indonesia.
Pancasila merupakan pilihan
utama bagi Negara dan bangsa Indonesia dan telah berakar serta mendarah daging
sejak berabad-abad kemudia menjadi pedoman serta landasan hidup bangsa dan
Negara untuk setiap kegiatan penyelenggaraan roda pemerintahan maupun kehidupan
sehari-hari. Segala perhatian yang tetap lurus dan dijaga kemurniannya dalam
setiap pelaksanaan antra lain dengan mewujudkan Pancasila melalui usaha-usaha
pembangunan, menetapkan serta mengoperasionalkan Pancasila dalam kehidupan
pemerintahan sehari-hari berupa kebijakan (policy)
pemerintah ataupun peraturan perundang-undangan yang mencerminkan semangat dan isi
dari pada Pancasila, hal ini akan terlaksana bila kita dapat memahami dan mampu
menjabarkan Pancasila itu dalam wujud kebijakan pemerintah atau
perundang-undangan yang pada gilirannya akan dilaksanakan oleh rakyat.[12]
Bahwa memang diperlukan
suatu bentuk penafsiran atau penjabaran Pancasila yang sifatnya resmi dan
mengikat seluruh warga Negara guna mengatur kehidupan bersama dalam republik
ini. Dan hal ini tidak dapat lain kecuali terdapat dalam Undang-Undang Dasar
1945 serta penjelasannya yang kemudian dilaksanakan selanjutnya dalam ketetapan
MPR (S) terutama yang menyangkut Garis-garis Besar Haluan Negara serta
selanjutnya diuraikan dalam peraturan perundang-undangan ataupun kebijakan
pemerintah, karena seluruh pasal-pasal yang terdapat didalamnya haruslah
merupakan perincian pelaksanaan lebih lanjut dari pada Pancasila itu sendiri,
sebab Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Karena Pancasila
sudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka ia
diterima sebagai dasar Negara yang mengatur hidup ketatanegaraan.[13]
Pengertian
Sumber Hukum
Dalam bahasa Inggris sumber
hukum itu disebut “source of law”.
Perkataan “sumber hukum” itu sebenarnya berbeda dengan perkataan “dasar hukum”,
“landasan hukum” ataupun “payung hukum”. Dasar hukum atau landasan hukum adalah
legal basis atau legal ground, yaitu perbuatan hukum tertentu sehingga dapat
dibenarkan secara hukum. Sedangkan perkataan sumber hukum lebih menunjuk kepada
pengertian tempat dari mana asal-muasal suatu nilai norma tertentu berasal.
Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ditentukan bahwa : (1) Sumber hukum
adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan,
(2) Sumber hukum terdiri atas sumber hukum dasar nasional adalah (i) Pancasila
sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan yang maha esa,
Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permisyawaratan/perwakilan, serta dengan
mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan (ii) batang tubuh
Undang-Undang Dasar 1945.[14]
Akan tetapi dalam pandangan
Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory
of Law and State”, istilah sumber hukum itu (source of law) dapat mengandung banyak pengertian, karena sifatnya
yang figurative and highly ambiguous.
Pertama
: yang
lazimnya dipahami sebagai source of law ada
2 (dua) macam, yaitu custom dan statute. Oleh karena itu, source of law biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and
legislation, yaitu customery and
statutory creation of law.
Kedua
: source of law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk
menilai alasan atau the reason for the
validity of law. Semua norma yang lebih tinggi merupakan sumber hukum bagi
norma hukum yang lebih rendah. Oleh karena itu, pengertian sumber hukum (source of law) itu identik dengan hukum
itu sendiri (the source of law always
itself law).
Ketiga
: source of law juga
dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis, seperti norma moral, etika,
prinsip-prinsip politik ataupun pendapat para ahli dan sebagainya yang dapat
mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum, sehingga dapat pula disebut sebagai
sumber hukum atau the source of law.
Nilai dan norma agama dapat
pula dikatakan menjadi sumber yang penting bagi terbentuknya nilai dan norma
etik dalam kehidupan masyarakat, sementara nilai-nilai dan norma etika itu
menjadi sumber bagi proses terbentuknya norma hukum yang dikukuhkan atau
dipositifkan oleh kekuasaan Negara. Dalam dinamika kehidupan masyarakat, ketiga
jenis nilai dan norma itu pada pokonya sama-sama berfungsi sebagai sarana
pengendalian dan sekaligus sistem referensi mengenai prilaku ideal dalam setiap
tatanan sosial (social order). Sebab,
jika ketiga jenis norma itu saling menunjang, maka ketiga sistem referensi
perilaku itu dapat bekerja secara simultan dan saling mendukung.
Terkait dengan hal ini,
penting juga untuk memperbandingkan mengenai penggunaan istilah sumber hukum (source of law) dalam sistem berfikir fiqih Islam dengan penggunaannya menurut
pengertian ilmu hukum pada umumnya. Hal ini penting untuk digambarkan karena
tradisi yang dianut dalam sistem fiqih
Islam, perkataan sumber hukum itu diartikan secara berbeda sama sekali dari
pengertian yang biasa dipakai dalam ilmu hukum kontemporer. Dalam fiqih Islam, yang diartikan sebagai
sumber hukum itu, disuatu pihak berarti “sumber rujukan”, tetapi dilain pihak
kadang-kadang dapat diidentikan dengan pengertian metode penalaran hukum (legal reasoning).
Misalnya, yang dianggap
sebagai sumber hukum adalah (i) Al-Quran,
(ii) Al-Sunnah, dan (iii) ijtihad
atau inovasi (innovation) dan invensi
(invention). Adapula sarjana yang
merumuskan kategori sumber hukum itu terdiri dari (i) Al-Quran, (ii) Al-Hadist,
(iii) Ijma dan (iv) Qiyas. Ada lagi yang merumuskan sumber
hukum itu meliputi (i) Syariat yang
diwayukan (wahyu), (ii) Sunnah
sebagai teladan rasul, dan (iii) akan dengan menggunakan metode berpikir
tertentu.[15]
Sumber hukum dalam bahasa
Inggris source of law. Sumber hukum
menunjukkan pada pengertian tempat darimana asal-muasal suatu nilai atau norma
tertentu berasal[16].
Sumber hukum Indonesia adalah segala sesuatu yang memiliki sifat normatif yang
dapat dijadikan tempat berpijak bagi dan atau tempat memperoleh informasi
tentang sistem hukum yang berlaku di Indonesia[17]. Pancasila ditempatkan
sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis Negara agar
supaya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila
adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan
dan watak dari rakyat Negara yang bersangkutan serta menjadi tempat berpijak
atau bersandar bagi setiap persoalan hukum yang ada atau yang muncul di
Indonesia, tempat menguji keabsahan baik dari sisi filosofis maupun yuridis.
Secara yuridis, fungsi pokok Pancasila sebagai dasar Negara pernah
dirumuskan pada Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, yang dikuatkan dengan Ketetapan
V/MPR/1973, dan kemudian dikuatkan lagi dengan Ketetapan MPR II/MPR/1978 dan
Ketetapan MPR IX/MPR/1978, yang menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber
segala sumber hukum atau sumber tata tertib hukum Indonesia yang sekaligus
merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita
moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum dijelaskan kembali dalam Ketetapan MPR III/MPR/2000 tentang
sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah
Pancasila[18].
Kemudian ditegaskan kembali melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang
telah mengalami Perubahan yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 secara umum
memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis; asas pembentukan
jenis, hierarki, dan materi muatan, perencanaan, penyusunan, teknik penyusunan,
pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang, pembahasan dan penetapan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
pengundangan, penyebarluasan, partisipasi masyarakat dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai
pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.
Tahapan perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan
langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta
jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan tertentu yang pembentukannya
tidak diatur dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 ini, seperti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah,
Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan Rancangan Peraturan
Perundang-undangan. Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan
teknik penyusunan Peraturan Perundangundangan. Penyempurnaan terhadap teknik
penyusunan Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas
dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh
bagi penyusunan Peraturan Perundangundangan, termasuk Peraturan
Perundang-undangan di daerah[19].
Pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Pancasila berarti pembentukan ayat, pasal, dan atau semua aspek pembuatan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah Pancasila itu sendiri. Pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Pancasila saat ini tunduk kepada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 yang telah mengalami Perubahan yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pancasila adalah sumber segala sumber hukum Negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Negara sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila harus diletakkan sebagai kaidah dasar, groundnorms atau sumber segala sumber hukum yang menjadi dasar bagi berlakunya UUD 1945. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis Negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Buku
Ilahm Bisri, 2014, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press.
Jimly Asshidiqie, 2017, Perihal Undang-Undang, Depok, Rajawali Pers.
Jimly Asshidiie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Konstitusi Press.
Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, 2016, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika.
Pipin Syaripin dan Dedah Jubaedah, 2012, Ilmu Perundang-Undangan, Bandung, Pustaka Setia.
R. Soeroso, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, Jakart, Sinar Grafika.
Subiako Tjakrawerdaja dkk, 2017, Sistem Ekonomi Pancasila, Jakarta, Rajawali Pers.
Tamsil Linrung, 2014, Politik Untuk Kemanusiaan Mainstream Baru Gerakan Politik Indonesia, Tangerang Selatan, PT. Tali Writing & Publishing House.
Yuliandri, 2011, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundag-Undangan Yang Baik Gagasam Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, Rajawali Pers.
Zaini Tarmidzi, 1992, Capita Selecta Pemerintahan, Bandung,
Angkasa.
B. Peraturan Perundang-Undangan dan Dokumentasi lainnya
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembantukan Peraturan Perundang-Undangan.
Bambang Sardono, 2019, Penataan Sistem Ketatanegaraan. Badan Pengkajian MPR RI.
[1] R. Soeroso, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, Jakart, Sinar
Grafika, hlm 25-26.
[2] Yuliandri, 2011, Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundag-Undangan Yang Baik Gagasam Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan,
Jakarta, Rajawali Pers, hlm 31.
[3] Kadri Husin dan Budi
Rizki Husin, 2016, Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm 4-5.
[4] Ibid, hlm 4.
[5] Jimly Asshidiqie,
2017, Perihal Undang-Undang, Depok,
Rajawali Pers, hlm 21.
[6] Ibid, hlm 21-22.
[7] Jimly Asshidiqie, Op Cit, hlm 179.
[8] Subiako Tjakrawerdaja
dkk, 2017, Sistem Ekonomi Pancasila,
Jakarta, Rajawali Pers, hlm 35-36.
[9] Ibid, hlm 36.
[10] Tamsil Linrung, 2014,
Politik Untuk Kemanusiaan Mainstream Baru
Gerakan Politik Indonesia, Tangerang Selatan, PT. Tali Writing &
Publishing House, hlm 57-58.
[11] Ibid, hlm 59.
[12] Zaini Tarmidzi, 1992,
Capita Selecta Pemerintahan, Bandung,
Angkasa, hlm 1.
[13] Ibid, hlm 2-3.
[14] Jimly Asshidiie,
2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,
Jakarta, Konstitusi Press, hlm 151-152.
[15] Ibid, hlm 152-154.
[16] Pipin Syaripin dan Dedah Jubaedah, 2012, Ilmu
Perundang-Undangan, Bandung, Pustaka Setia, hlm 40.
[17] Ilahm Bisri, 2014, Sistem Hukum
Indonesia Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali
Press, hlm 7.
[18] Bambang Sardono, 2019, Penataan Sistem Ketatanegaraan. Badan
Pengkajian MPR RI.
[19] Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembantukan
Peraturan Perundang-Undangan.