AKHANDALAPURA : PUSAT KERAJAAN SRIWIJAYA SEBELUM ABAD 682 M BERADA DI BATANG KUANTAN : BERKISAR PADA ABAD 4-5 M

thumbnail

AKHANDALAPURA : PUSAT KERAJAAN SRIWIJAYA SEBELUM ABAD 682 M BERADA DI BATANG KUANTAN : BERKISAR PADA ABAD 4-5 M

Ditengarai kuat dan penuh keyakinan setelah melihat (ekspedisi Batang Kuantan) penulis lakukan dan hasil pelacakan dari terjemahan Prasasti Melayu Kuno Sojomerto Jawa Tengah, Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan, Prasasti Kedukan Bukit Palembang, Prasasti Karang Brahi Jambi Hulu dan Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka.

Hasil terjemahan Prasasti Sojomerto dapat dilihat :

1.    “………….”

2.    “…………”

3.    Penghormatan kepada Siwa

4.    Bhatara Parameswa

5.    Dan semua Dewa yang saya hormati

6.    Hyan Mih

7.    Yang Mulia Dapunta Selendra

8.    Santana. Adalah nama ayahnya

9.    Bhadrawati. Adalah nama ibunya

10.     Sampula. Adalah nama Yang Mulia Selendra (Boechari, 2012 : 353)

Berat dugaan dengan keyakinan penuh, jika Daputa Selendra adalah orang Indonesia asli bukan dari Imigran India dan Funan yang berada di Sungai Mekong, meskipun Prasasti ini ditemukan di Jawa Tengah namun secara garis keturunan Dapunta Selendra memiliki garis keturunan buyutnya berada di Sumatera (ini nanti akan diuraikan pada berikutnya bahwa Dapunta Selendra, buyutnya Dapunta Hyang berada di Batang Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi berkisar Abad 4-5 M).

Bukti kuat dan dianggap shahih dari jalur yang jelas, beberapa bukti yang menunjukan Dapunta Hyang buyutnya Dapunta Selendra pernah berada dan berpusat di Batang Kuantan berkisar pada Abad 4-5 M sebelum Abad 682 M berasal dari terjemahan Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan, bukti kuat dan meyakinkan itu antara lain :

1. Berita dan rekaman (record) dari Yijing’s cendikiawan alim ulama dari Cina. Yijing’s menyebutkan lokasi Ibu Kota Sriwijaya sebelum Abad 682 M berada di Batang Kuantan, yang terletak sekitar 0,5° S. Secara sederhana dapat diartikan wilayah yang berada pada garis Khatulistiwa atau garis Equotor (dapat dilihat keterangan lebih jelas pada terjemahan Prasasti Palas Pasemah oleh Boechari).

2.  Pembuktian di Hulu Batang Kuantan dapat ditemukan sisa-sisa Candi Budha yang berasal dari Abad 7 M, ini dapat dilihat pada bukti situs di Sangau, Lubuk Jambi Kuantan Singingi, penulis sudah menelusuri situs ini akan tetapi belum melakukan kajian mendalam apakah benar Candi Budha pada Abad 7 atau bukan. Namun pada kesempatan lain Hamka menyebutkan di Solok Sumatera Barat ditemukan Patung Budha bertarikh 600 M diyakini oleh Hamka sebagai cikal bakal Kerajaan Sriwijaya (Sah Li Foh) dari Kerajaan Sambojaya (San Foh Sji) yang secara geografis berada di Hulu Batang Kuantan (dapat dilihat keterangan ini pada buku : Hamka, 2016, Sejarah Umat Islam Pra Kenabian Hingga Islam Di Nusantara, Jakarta, Gema Insani). Nantinya juga penulis uraikan berdasarkan pendekatan Minana/Minanga.

3.   Pada Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan, baris ke 9 ada kata “inan” yang kemudian diterjemahkan sebagai kata empati yakni “nian”. Ini juga bukti kuat, satu-satunya daerah di Kabupaten Kuantan Singingi yang memakai kata “nian” ini hanyalah daerah Cerenti. Sedangkan di Palembang dan Jambi sudah lumrah.

4.  Tidak adanya Prasasti yang disebutkan di atas tadi (Prasasti Melayu Kuno Sojomerto Jawa Tengah, Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan, Prasasti Kedukan Bukit Palembang, Prasasti Karang Brahi Jambi Hulu dan Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka) berisi kutukan terhadap Kuantan sebagai tanda daerah itu telah ditaklukkan. Sedangkan daerah Palembang, Jambi dan Lampung pernah di Kutuk lewat Prasasti tersebut.

5.  Pada Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan terjemahannya disebutkan Dapunta Hyang menaklukkan daerah yang berawalan “ma” yang diartikan sebagai Japura ada sisa kotanya di Hilir Batang Kuantan tepatnya di Sungai Indra Giri, atau ditengarai sebagai Kota Lam Tanjung Pinang atau Kota Lama di Rokan Hulu bekas kerajaan Rokan Darussalam atau bisa jadi Pamalayu Dhamasraya, sebab dari alur Batang Kuantan ini memang strategis untuk penaklukkan daerah tersebut.  

6. Pada Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan ada kata “Tandrun Luah” yang diartikan sebagai kata Jin, Roh Sungai atau Air. Alias hantu air yang sebutannya sebagai “Bunduang” oleh orang Kuantan.

7.   Jalur Batang Kuantan yang strategis dalam penaklukkan nantinya ke Palembang, Jambi dan Kedah lewat Sungai Indragiri ini yang akan kita lihat dengan pendekatan Minana/Minanga.

Ekpedisi Bukit Sigarutang/Siguntang Inuman Kuantan Singingi

Kemiripan nama atau memang benar ini adalah bukit asli asal Dapunta Hyang tentu masih menjadi tanda tanya besar. Namun bisa jadi, dulunya ini bernama Siguntang karena perubahan dialek bahasa yang sekian lama dan pelatnya lidah orang sekitar Kuantan berubah menjadi sebutan Sigaruntang, sama pula yang diyakini orang India bahwa Dewa Brahmana adalah Ibrahim juga karena perubahan dialek bahasa India, juga Saradevi yang berasal dari Sarah istrinya Nabi Ibrahim.

Setelah menelusuri Bukit Sigaruntang/Siguntang Inuman, penulis agak meragukan bukit ini sebgai pusat keberadaan Dapunta Hyang, karena tak terdengar ada kegiatan Rara Suci, Kili Suci atau pertapaan dan moksanya keturunan Dapunta Hyang seperti yang telah dimaklumi raja-raj di Jawa. Selanjutnya secara geografis atau letaknya sangat bertentangan sekali dengan kebiasaan kerajaan yang ada di Sumatera yakni “Kerajaan Menepi” berada di daerah aliran sungai (DAS), sebab bukit ini berjarak 5-6 KM dari Batang Kuantan, berbeda dengan Bukit Siguntang yang ada di Palembang hanya berjaran sekitar 1 KM dari Sungai Musi. Kebanyakan kerajaan (umumnya) yang ada di Pulau Sumatera disebut sebagai kerajaan menepi, karena letaknya yang dekat-berdekatan dengan aliran sungai, ini yang dimaksud dengan letak kerajaan menepi. Tentunya berbeda dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Jawa yang disebut dengan kerajaan menggunung, karena kerajaan itu berada di atas pergunungan.

Kerajaan menepi, meskipun tak sama seperti kerajaan yang ada di Pulau Jawa yang menggunung. Ini disebabkan karena keadaan alam yang memang antara Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa berbeda. Keadaan alam di Pulau Sumatera kebanyakan dihukum oleh aliran-aliran sungai, sehingga membentuk pemukiman penduduk yang terbentang sepanjang aliran sungai. Kondisi ini pula yang menghukum, pada suatu pembentukan pemukiman penduduk. Namun kondisi ini tidak pula menjadi suatu hambatan, malah dengan kondisi seperti ini akan membuat suatu pemukiman penduduk dan dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-harinya menjadi lancar. Aliran batang sungai, nantinya akan mereka mamfaatkan sebagai jalur transfortasi mengangkut hasil bumi dalam skala kecil maupun besar, kekayaan yang tersimpan dalam aliran sungai dapat pula mereka mamfaatkan sebagai bahan kehidupan baik ikan maupun yang lain terkandung di dalamnya, bisa pula mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mandi, cuci dan kakus serta mudah pula dalam membuat sistem perairan pertanian.

Itulah kenapa, kerajaan yang ada dipinggiran aliran sungai alias kerajaan menepi ini secara kehidupan mereka tergolong pada kerajaan yang sejahtera dan makmur-makmur, karena dalam pemenuhan hajat hidup rakyat banyak para Raja tidak perlu berpikir keras karena sudah tersedia dan hanya memamfaatkannya secara baik saja. Untuk lokasi yang menjadi titik pusat berdirinya kerajaan atau pusat pemerintahan, maka dicarikan pula pada aliran sungai itu sebidang tanah nan luas lagi baik dan terbaik posisinya dari tanah-tanah yang ada, lapang, terbebas dari pada banjir akan tiba, jauh dari jangkaun musuh yang akan menyerang dari jalur air. Secara keadaan tentu harus tanah terbaik inilah buat kerajaan, agar Raja terhindar dari marabahaya, sebab Raja simbol kemakmuran rakyat kala itu, sebaigaiman konsep “koto” pada era setelahnya.

Namun begitu penulis tidak menapikkan temuan yang didapat pada penelusuran ini, yakni disebutkan di atas atas Bukit Sigaruntang/Siguntang ini dulunya ada pendekar yang berkepala manusia berbadan gajah, apakah benar-benar berbadan gajah atau badan fisiknya sebesar gajah sebab secara mitos Kuantan dulunya diyakini betul para pendekar itu memiliki fisik yang aneh seperti dikenal dengan “Datuk Lebar Dado”. Temuan ini sejalan dengan informasi yang penulis dapatkan yakni ada Dapunta Hyang VI yang bernama Yayagajah Indra Brahman barangkali ini, namun belum dapat penulis pastikan.

Temuan selanjutya penulis dapatkan tepatnya di Gunung Melintang berjarak sekitar 3 KM dari Bukit Sigaruntang/Siguntang ini, disebutkan ada Makam Niniek Panjang yang juga sejalan dengan mitos orang Kuantan memiliki keanehan fisik, Makam Niniek Panjang ini dari leher sampai ke kaki sepanjang 6 M, sedangkan kepalanya dimakamkan di seberang Cerenti tepatnya di Desa Pulau Jambu sekarang, satu-satunya desa yang berada di seberang Cerenti yang dekat dengan Lubuk Cerana/Cerano yang nanti kita bahas. Niniek Panjang “bapatikal : berpesan : wasiat” jika ia meninggal kuburkan dari leher sampai ke kaki di Gunung Melintang dan kepalanya di makamkan di seberang Cerenti. Tambo ini “barangkali” menurut penulis sebagai keyakinan adanya Candi peninggalan Budha bertarikh Abad 7 M yakni Candi Pulau Jambu yang telah di eskavasi oleh Universitas Sumatera Utara dan Universitas Jambi, jika boleh penulis sampaikan ini berkemungkinan Munggu : Gundukan Bukit boleh ditelusuri tambonya, dan barangkali pula Niniek Panjang ini adalah Dapunta Hyang. (Belum penulis telusuri secara mendalam).

Ekpedisi Lubuk Cerana/Cerano Cerenti Kuantan Singingi

Lubuk Cerana/Cerano diyakini betul sebagai Minana/Minanga tempat bertolaknya Dapunta Hyang melakukan ekpedisi penaklukkan Palembang dan Lampung Selatan selanjutya menaklukkan Moelayou (Jambi). Berdasarkan cerita rakyat setempat, di Lubuk Cerana ini ada kapal Cina tenggelam membawa begitu banyak harta karun, kemungkinan ini adalah Kapal Yijing’s dari Cina itu, sebab pada beritanya Yijing’s pernah bermukim di Minanga selam 6 bulan.

Berikut keterangan terkait Lubuk Cerana yang dikatakan sebagai Minanga :

Pada sebuah hari kesebelas dari bagian cerah Bulan Waiskha tahun 604 Saka (23 April 682 M), Dapunta Hyang memohon keberkahan atas kapal ekspedisi penaklukannya ke Marialap Siddhayarta, seperti festivalnya Budha. Kemungkinan pengambilan keberkahan ini ke Hulu Batang Kuantan, terlintas betapa pentingnya kemudian untuk menaklukkan daerah ini yang berada di selatan kerajaannya sebagai penghasil komoditas perdagangan khususnya lada, berat kemungkinan ini adalah Kerajaan Sambojaya (San Foh Sji) di Solok Sumatera Barat. Hari ketujuh dari bagian cerah dari Bulan Jyestha (19 Mei 682 M) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga. Pendapat R.A Kern bahwa Minanga adalah muara sungai musi nama Muara Tamban yang disebut Minanga Tamwan. Poerbatjaraka menyebut Tamwan sebagai padanan pertemuan lamuan yang diyakininya sebagai daerah Minangkabau atau Kampar. Slamet Muljana mengidentifikasi Minanga adalah kota Binanga sekarang yang ada di sungai Barumun Sumatera Utara. Adapun G. Cardes mengungkapkan Minanga sebagai muara sungai Mekong di Funan dan Tamwan dikatakan sebagai etnis. Adapun pendapat Boechari sendiri mengatkan dan ini sebagai pendapat yang paling penulis sukai Minanga adalah Muara atau Kuala padanan dari pertemuan 2 sungai sedangkan Tamwan Boechari mengartikannya sebagai arti kata sementara. (Boechari, 2012 : 373-374).

Minanga adalah Kuantan, sebab di hilirnya sungai Indra Giri tak tauh dari Lubuk Cerana sudah berbatas langsung dengan sungai Indra Giri, bertemulah dua aliran sungai bermuara atau berkuala, selain itu dua sungai ini sangat strategis untuk jalur penaklukan.

Dapunta Hyang berangkat dari Minanga yakni Batang Kuantan dengan bergerak membawa pasukan sebanyak 20.000 orang. Memang Kuantan tak dapat menandingi daerah sepanjang aliran Kampar, Batanghari dan Musi, namun ini belum dilakukan survey arkeolog secara terencana. Stupa Muara Takus diperkirakan dari Abad 8 M oleh Boechari namun ia meyakini Muara Takus dibungkus oleh bangunan yang lebih tua tak dikethaui tanggalnya, ada kemungkinan Muara Takus ada beberapa kali direnovasi pada zamannya ada pula nama Desa Minanga di daerah sebelah timur Bangkinang. Namun dari banyak sekian pendapat dan alira sungai yang ada itu, tak lain yang paling strategis adalah Batang Kuantan jika dilihat ekpedisi penaklukan yang dilakukan oleh Dapunta Hyang, sebab lama perjalanan dari Minanga ke Palembang 28 hari baik ke utara, ke selatan atau ke barat, dari Batang Kuantan inilah dapat ditempuh dengan jarak tersebut.

Lokasi dimana Minanga sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya sebelum Abad 682 M yang paling mungkin adalah Lubuk Cerana ini dan berita Cina yang menyebut sebagai Kerajaan Gantuoli dimana Yijing’s pernah bermukim dan di Lubuk Cerana. Kabar ini bisa kita identifikasi sebagai Kerajaan Akhandalapura yang disebutkan dalam Prasasti Ratu Baka di selatan Prambanan (Prasasti Haralinga) berasal dari Abad 856 M diman Rakai Walain Pu Kumbhayoni mengklaim dirinya sebagai keturunan suci dari Akhandalapura.

Nama Kerajaan Akhandalapura hemat penulis tidaklah mutlak untuk kita pakai, bisa saja kita menamakannya sebagai Kerajaan Taluk karena secara sejarahnya kerajaan ini sebagai penakluk daerah-daerah lainnya, sebab kata Taluk merupakan padanan dari Takluk yang diyakini para sejarah kita, artinya kita adalah penakluk bukan daerah yang ditaklukkan, selepas ini semua barulah Dapunta Hyang melakukan pemekaran wilyah Ibukotanya ke Muara Jambi Abad 6 akhir dan seterusnya memekarkan lagi pada Abad 7 awal di Palembang. Begitulah nasab yang penulis yakini secara shahih dari literatur dan bukti-bukti yang ada dari Abad 4-5 M. Untuk sekelas peradaban yang bisa dibaca Abad 4-5 M kita sudah sangat hebat sekali khususnya di Batang Kuantan, apakah sebelum Abad 4-5 M kita sudah ada penduduk asli di Batang Kuantan kemungkinan iya adanya, namun secara peradaban baru penulis baca berkisar di Abad 4-5 M.

Sumber :

1.  Boechari, 2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti : Tracing Ancient Indonesia History Through Inscription, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.

2.  Hamka, 2016, Sejarah Umat Islam Pra Kenabian Hingga Islam Di Nusantara, Jakarta, Gema Insani.

Wallahualam Bissawab