Catatan Perjalanan Gunung Tua

thumbnail

Sebenarnya saya sudah bisa membuat “analisa awal” dan “kesimpulan dini” terkait Dapunta Hyang dan Minangan Tamwan setelah menelusuri Candi Bahal I, II, III dan Binanga di Gunung Tua, Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Ada satu lagi identifikasi lokasi Dapunta Hyang dan Minangan Tamwan menurut para ahli yang belum saya telusuri secara mendalam, yakni Candi Muara Takus Kabupaten Kampar Riau, bisa saja saya tebak dari lietaratur dan kondisi geografis yang memang tempat main saya semasa kuliah, namun itu menjadi tidak sempurna, kalau tidak, saya langsung turun menelusuri. Sengaja Candi Muara Takus saya akhirkan saja, karena bisa kapan saja saya telusuri, kaji menurunlah karena dekat. Sayang saja rasanya tidak saya selesaikan project ini, sebab naskah saya sudah dibilang 40% sudah terkumpul dan tercatat, setidaknya saya sudah mencatat apa yang saya telusuri dan saya lihat, terlepas dari salah dan benarnya terpulang dari keterbatasan dan kemampuan saya dalam berbuat.

Tapi, ada yang menyentuh saya. Ketika saya bertanya sama Guru, Ustad, Dosen Abdul Sadad (Dosen AP FISIP UNRI). Ada saran Ustad saya bilang ? dalam komentar Face Book, beliau balas, “Jangan lupa masa depan”. Saya balas dikomentar Face Book, “Masa lalu terlalu indah Ustad” hehe, sambil bercanda. Sekali lagi, saran beliau itu sangat menyentuh dan menggugah hati kecil nurani saya, ya mengingat saya ini, secara karir sangat stagnan sekali, belum tersertifikasi, fungsional yang itu-itu saja, tidak ada progress untuk paper nasional maupun international (sinta dan scopus), tidak terpikir untuk jenjang pendidikan lanjut (walaupun dulu pernah sudah mencoba scholarship India ICCR, tapi belum reski, semua dokumen dan paspor sudah siap) dan lain-lain. Sepertinya saya harus mempertimbangkan saran beliau kedepannya, karena saya tidak punya apa-apa selain keluarga (istri dan anak-anak masih kecil) yang setia bersama dan menemani saya selama ini, mereka tidak menuntut apa-apa diluar kesanggupan saya. Boleh dibilang, ini karena kegiatan saya yang pakai biaya pribadi (non sponsor), namun saya yakin dan percaya, ini akan berharga kedepan untuk “mereka”, minimal saya sudah mewariskan catatan nantinya untuk meraka baca dan kenang, ayahnya sudah berbuat untuk “mereka” dan secara pribadi bagi saya kondisi ini tiada mengapa.

Back To Topic, meskipun saya sudah hampir selesai menelusuri project ini, tapi saya belum berasa sempurna, kalau belum mengunjungi beberapa situs terkait, untuk kelengkapannya. Seperti, saya harus kembali ke Prasasti Suruaso Batu Sangkar, berkunjung ke Prasasti Karang Berahi Merangin Jambi, Prasasti Palay Pesemah Lampung Selatan, ke Palembang dan Jambi, mesti semuanya bisa saya abaikan (skip), namun bagi saya ini jadi penting, bukan karena di situ ada Dapunta Hyang dan Minanga Tamwan, tapi karena itu menjadi pelengkap catatan saya.

Semoga bisa saya selesaikan, semua ini dengan cepat dan mudah dengan izin Allah Swt dan bisa pula saya fokus dengan catatan masa depan saya yang disarankan Sang Guru, Ustad Dosen saya tadi, untunglah semua ini saya lakukan karena semata kesukaan, kecintaan dan hobi dengan kesejarahan.

#DapuntaHyang #MinangaTamwan      

 

AKHANDALAPURA : PUSAT KERAJAAN SRIWIJAYA SEBELUM ABAD 682 M BERADA DI BATANG KUANTAN : BERKISAR PADA ABAD 4-5 M

thumbnail

AKHANDALAPURA : PUSAT KERAJAAN SRIWIJAYA SEBELUM ABAD 682 M BERADA DI BATANG KUANTAN : BERKISAR PADA ABAD 4-5 M

Ditengarai kuat dan penuh keyakinan setelah melihat (ekspedisi Batang Kuantan) penulis lakukan dan hasil pelacakan dari terjemahan Prasasti Melayu Kuno Sojomerto Jawa Tengah, Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan, Prasasti Kedukan Bukit Palembang, Prasasti Karang Brahi Jambi Hulu dan Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka.

Hasil terjemahan Prasasti Sojomerto dapat dilihat :

1.    “………….”

2.    “…………”

3.    Penghormatan kepada Siwa

4.    Bhatara Parameswa

5.    Dan semua Dewa yang saya hormati

6.    Hyan Mih

7.    Yang Mulia Dapunta Selendra

8.    Santana. Adalah nama ayahnya

9.    Bhadrawati. Adalah nama ibunya

10.     Sampula. Adalah nama Yang Mulia Selendra (Boechari, 2012 : 353)

Berat dugaan dengan keyakinan penuh, jika Daputa Selendra adalah orang Indonesia asli bukan dari Imigran India dan Funan yang berada di Sungai Mekong, meskipun Prasasti ini ditemukan di Jawa Tengah namun secara garis keturunan Dapunta Selendra memiliki garis keturunan buyutnya berada di Sumatera (ini nanti akan diuraikan pada berikutnya bahwa Dapunta Selendra, buyutnya Dapunta Hyang berada di Batang Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi berkisar Abad 4-5 M).

Bukti kuat dan dianggap shahih dari jalur yang jelas, beberapa bukti yang menunjukan Dapunta Hyang buyutnya Dapunta Selendra pernah berada dan berpusat di Batang Kuantan berkisar pada Abad 4-5 M sebelum Abad 682 M berasal dari terjemahan Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan, bukti kuat dan meyakinkan itu antara lain :

1. Berita dan rekaman (record) dari Yijing’s cendikiawan alim ulama dari Cina. Yijing’s menyebutkan lokasi Ibu Kota Sriwijaya sebelum Abad 682 M berada di Batang Kuantan, yang terletak sekitar 0,5° S. Secara sederhana dapat diartikan wilayah yang berada pada garis Khatulistiwa atau garis Equotor (dapat dilihat keterangan lebih jelas pada terjemahan Prasasti Palas Pasemah oleh Boechari).

2.  Pembuktian di Hulu Batang Kuantan dapat ditemukan sisa-sisa Candi Budha yang berasal dari Abad 7 M, ini dapat dilihat pada bukti situs di Sangau, Lubuk Jambi Kuantan Singingi, penulis sudah menelusuri situs ini akan tetapi belum melakukan kajian mendalam apakah benar Candi Budha pada Abad 7 atau bukan. Namun pada kesempatan lain Hamka menyebutkan di Solok Sumatera Barat ditemukan Patung Budha bertarikh 600 M diyakini oleh Hamka sebagai cikal bakal Kerajaan Sriwijaya (Sah Li Foh) dari Kerajaan Sambojaya (San Foh Sji) yang secara geografis berada di Hulu Batang Kuantan (dapat dilihat keterangan ini pada buku : Hamka, 2016, Sejarah Umat Islam Pra Kenabian Hingga Islam Di Nusantara, Jakarta, Gema Insani). Nantinya juga penulis uraikan berdasarkan pendekatan Minana/Minanga.

3.   Pada Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan, baris ke 9 ada kata “inan” yang kemudian diterjemahkan sebagai kata empati yakni “nian”. Ini juga bukti kuat, satu-satunya daerah di Kabupaten Kuantan Singingi yang memakai kata “nian” ini hanyalah daerah Cerenti. Sedangkan di Palembang dan Jambi sudah lumrah.

4.  Tidak adanya Prasasti yang disebutkan di atas tadi (Prasasti Melayu Kuno Sojomerto Jawa Tengah, Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan, Prasasti Kedukan Bukit Palembang, Prasasti Karang Brahi Jambi Hulu dan Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka) berisi kutukan terhadap Kuantan sebagai tanda daerah itu telah ditaklukkan. Sedangkan daerah Palembang, Jambi dan Lampung pernah di Kutuk lewat Prasasti tersebut.

5.  Pada Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan terjemahannya disebutkan Dapunta Hyang menaklukkan daerah yang berawalan “ma” yang diartikan sebagai Japura ada sisa kotanya di Hilir Batang Kuantan tepatnya di Sungai Indra Giri, atau ditengarai sebagai Kota Lam Tanjung Pinang atau Kota Lama di Rokan Hulu bekas kerajaan Rokan Darussalam atau bisa jadi Pamalayu Dhamasraya, sebab dari alur Batang Kuantan ini memang strategis untuk penaklukkan daerah tersebut.  

6. Pada Prasasti Palas Pasemah Lampung Selatan ada kata “Tandrun Luah” yang diartikan sebagai kata Jin, Roh Sungai atau Air. Alias hantu air yang sebutannya sebagai “Bunduang” oleh orang Kuantan.

7.   Jalur Batang Kuantan yang strategis dalam penaklukkan nantinya ke Palembang, Jambi dan Kedah lewat Sungai Indragiri ini yang akan kita lihat dengan pendekatan Minana/Minanga.

Ekpedisi Bukit Sigarutang/Siguntang Inuman Kuantan Singingi

Kemiripan nama atau memang benar ini adalah bukit asli asal Dapunta Hyang tentu masih menjadi tanda tanya besar. Namun bisa jadi, dulunya ini bernama Siguntang karena perubahan dialek bahasa yang sekian lama dan pelatnya lidah orang sekitar Kuantan berubah menjadi sebutan Sigaruntang, sama pula yang diyakini orang India bahwa Dewa Brahmana adalah Ibrahim juga karena perubahan dialek bahasa India, juga Saradevi yang berasal dari Sarah istrinya Nabi Ibrahim.

Setelah menelusuri Bukit Sigaruntang/Siguntang Inuman, penulis agak meragukan bukit ini sebgai pusat keberadaan Dapunta Hyang, karena tak terdengar ada kegiatan Rara Suci, Kili Suci atau pertapaan dan moksanya keturunan Dapunta Hyang seperti yang telah dimaklumi raja-raj di Jawa. Selanjutnya secara geografis atau letaknya sangat bertentangan sekali dengan kebiasaan kerajaan yang ada di Sumatera yakni “Kerajaan Menepi” berada di daerah aliran sungai (DAS), sebab bukit ini berjarak 5-6 KM dari Batang Kuantan, berbeda dengan Bukit Siguntang yang ada di Palembang hanya berjaran sekitar 1 KM dari Sungai Musi. Kebanyakan kerajaan (umumnya) yang ada di Pulau Sumatera disebut sebagai kerajaan menepi, karena letaknya yang dekat-berdekatan dengan aliran sungai, ini yang dimaksud dengan letak kerajaan menepi. Tentunya berbeda dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Jawa yang disebut dengan kerajaan menggunung, karena kerajaan itu berada di atas pergunungan.

Kerajaan menepi, meskipun tak sama seperti kerajaan yang ada di Pulau Jawa yang menggunung. Ini disebabkan karena keadaan alam yang memang antara Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa berbeda. Keadaan alam di Pulau Sumatera kebanyakan dihukum oleh aliran-aliran sungai, sehingga membentuk pemukiman penduduk yang terbentang sepanjang aliran sungai. Kondisi ini pula yang menghukum, pada suatu pembentukan pemukiman penduduk. Namun kondisi ini tidak pula menjadi suatu hambatan, malah dengan kondisi seperti ini akan membuat suatu pemukiman penduduk dan dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-harinya menjadi lancar. Aliran batang sungai, nantinya akan mereka mamfaatkan sebagai jalur transfortasi mengangkut hasil bumi dalam skala kecil maupun besar, kekayaan yang tersimpan dalam aliran sungai dapat pula mereka mamfaatkan sebagai bahan kehidupan baik ikan maupun yang lain terkandung di dalamnya, bisa pula mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mandi, cuci dan kakus serta mudah pula dalam membuat sistem perairan pertanian.

Itulah kenapa, kerajaan yang ada dipinggiran aliran sungai alias kerajaan menepi ini secara kehidupan mereka tergolong pada kerajaan yang sejahtera dan makmur-makmur, karena dalam pemenuhan hajat hidup rakyat banyak para Raja tidak perlu berpikir keras karena sudah tersedia dan hanya memamfaatkannya secara baik saja. Untuk lokasi yang menjadi titik pusat berdirinya kerajaan atau pusat pemerintahan, maka dicarikan pula pada aliran sungai itu sebidang tanah nan luas lagi baik dan terbaik posisinya dari tanah-tanah yang ada, lapang, terbebas dari pada banjir akan tiba, jauh dari jangkaun musuh yang akan menyerang dari jalur air. Secara keadaan tentu harus tanah terbaik inilah buat kerajaan, agar Raja terhindar dari marabahaya, sebab Raja simbol kemakmuran rakyat kala itu, sebaigaiman konsep “koto” pada era setelahnya.

Namun begitu penulis tidak menapikkan temuan yang didapat pada penelusuran ini, yakni disebutkan di atas atas Bukit Sigaruntang/Siguntang ini dulunya ada pendekar yang berkepala manusia berbadan gajah, apakah benar-benar berbadan gajah atau badan fisiknya sebesar gajah sebab secara mitos Kuantan dulunya diyakini betul para pendekar itu memiliki fisik yang aneh seperti dikenal dengan “Datuk Lebar Dado”. Temuan ini sejalan dengan informasi yang penulis dapatkan yakni ada Dapunta Hyang VI yang bernama Yayagajah Indra Brahman barangkali ini, namun belum dapat penulis pastikan.

Temuan selanjutya penulis dapatkan tepatnya di Gunung Melintang berjarak sekitar 3 KM dari Bukit Sigaruntang/Siguntang ini, disebutkan ada Makam Niniek Panjang yang juga sejalan dengan mitos orang Kuantan memiliki keanehan fisik, Makam Niniek Panjang ini dari leher sampai ke kaki sepanjang 6 M, sedangkan kepalanya dimakamkan di seberang Cerenti tepatnya di Desa Pulau Jambu sekarang, satu-satunya desa yang berada di seberang Cerenti yang dekat dengan Lubuk Cerana/Cerano yang nanti kita bahas. Niniek Panjang “bapatikal : berpesan : wasiat” jika ia meninggal kuburkan dari leher sampai ke kaki di Gunung Melintang dan kepalanya di makamkan di seberang Cerenti. Tambo ini “barangkali” menurut penulis sebagai keyakinan adanya Candi peninggalan Budha bertarikh Abad 7 M yakni Candi Pulau Jambu yang telah di eskavasi oleh Universitas Sumatera Utara dan Universitas Jambi, jika boleh penulis sampaikan ini berkemungkinan Munggu : Gundukan Bukit boleh ditelusuri tambonya, dan barangkali pula Niniek Panjang ini adalah Dapunta Hyang. (Belum penulis telusuri secara mendalam).

Ekpedisi Lubuk Cerana/Cerano Cerenti Kuantan Singingi

Lubuk Cerana/Cerano diyakini betul sebagai Minana/Minanga tempat bertolaknya Dapunta Hyang melakukan ekpedisi penaklukkan Palembang dan Lampung Selatan selanjutya menaklukkan Moelayou (Jambi). Berdasarkan cerita rakyat setempat, di Lubuk Cerana ini ada kapal Cina tenggelam membawa begitu banyak harta karun, kemungkinan ini adalah Kapal Yijing’s dari Cina itu, sebab pada beritanya Yijing’s pernah bermukim di Minanga selam 6 bulan.

Berikut keterangan terkait Lubuk Cerana yang dikatakan sebagai Minanga :

Pada sebuah hari kesebelas dari bagian cerah Bulan Waiskha tahun 604 Saka (23 April 682 M), Dapunta Hyang memohon keberkahan atas kapal ekspedisi penaklukannya ke Marialap Siddhayarta, seperti festivalnya Budha. Kemungkinan pengambilan keberkahan ini ke Hulu Batang Kuantan, terlintas betapa pentingnya kemudian untuk menaklukkan daerah ini yang berada di selatan kerajaannya sebagai penghasil komoditas perdagangan khususnya lada, berat kemungkinan ini adalah Kerajaan Sambojaya (San Foh Sji) di Solok Sumatera Barat. Hari ketujuh dari bagian cerah dari Bulan Jyestha (19 Mei 682 M) Dapunta Hyang berangkat dari Minanga. Pendapat R.A Kern bahwa Minanga adalah muara sungai musi nama Muara Tamban yang disebut Minanga Tamwan. Poerbatjaraka menyebut Tamwan sebagai padanan pertemuan lamuan yang diyakininya sebagai daerah Minangkabau atau Kampar. Slamet Muljana mengidentifikasi Minanga adalah kota Binanga sekarang yang ada di sungai Barumun Sumatera Utara. Adapun G. Cardes mengungkapkan Minanga sebagai muara sungai Mekong di Funan dan Tamwan dikatakan sebagai etnis. Adapun pendapat Boechari sendiri mengatkan dan ini sebagai pendapat yang paling penulis sukai Minanga adalah Muara atau Kuala padanan dari pertemuan 2 sungai sedangkan Tamwan Boechari mengartikannya sebagai arti kata sementara. (Boechari, 2012 : 373-374).

Minanga adalah Kuantan, sebab di hilirnya sungai Indra Giri tak tauh dari Lubuk Cerana sudah berbatas langsung dengan sungai Indra Giri, bertemulah dua aliran sungai bermuara atau berkuala, selain itu dua sungai ini sangat strategis untuk jalur penaklukan.

Dapunta Hyang berangkat dari Minanga yakni Batang Kuantan dengan bergerak membawa pasukan sebanyak 20.000 orang. Memang Kuantan tak dapat menandingi daerah sepanjang aliran Kampar, Batanghari dan Musi, namun ini belum dilakukan survey arkeolog secara terencana. Stupa Muara Takus diperkirakan dari Abad 8 M oleh Boechari namun ia meyakini Muara Takus dibungkus oleh bangunan yang lebih tua tak dikethaui tanggalnya, ada kemungkinan Muara Takus ada beberapa kali direnovasi pada zamannya ada pula nama Desa Minanga di daerah sebelah timur Bangkinang. Namun dari banyak sekian pendapat dan alira sungai yang ada itu, tak lain yang paling strategis adalah Batang Kuantan jika dilihat ekpedisi penaklukan yang dilakukan oleh Dapunta Hyang, sebab lama perjalanan dari Minanga ke Palembang 28 hari baik ke utara, ke selatan atau ke barat, dari Batang Kuantan inilah dapat ditempuh dengan jarak tersebut.

Lokasi dimana Minanga sebagai pusat Kerajaan Sriwijaya sebelum Abad 682 M yang paling mungkin adalah Lubuk Cerana ini dan berita Cina yang menyebut sebagai Kerajaan Gantuoli dimana Yijing’s pernah bermukim dan di Lubuk Cerana. Kabar ini bisa kita identifikasi sebagai Kerajaan Akhandalapura yang disebutkan dalam Prasasti Ratu Baka di selatan Prambanan (Prasasti Haralinga) berasal dari Abad 856 M diman Rakai Walain Pu Kumbhayoni mengklaim dirinya sebagai keturunan suci dari Akhandalapura.

Nama Kerajaan Akhandalapura hemat penulis tidaklah mutlak untuk kita pakai, bisa saja kita menamakannya sebagai Kerajaan Taluk karena secara sejarahnya kerajaan ini sebagai penakluk daerah-daerah lainnya, sebab kata Taluk merupakan padanan dari Takluk yang diyakini para sejarah kita, artinya kita adalah penakluk bukan daerah yang ditaklukkan, selepas ini semua barulah Dapunta Hyang melakukan pemekaran wilyah Ibukotanya ke Muara Jambi Abad 6 akhir dan seterusnya memekarkan lagi pada Abad 7 awal di Palembang. Begitulah nasab yang penulis yakini secara shahih dari literatur dan bukti-bukti yang ada dari Abad 4-5 M. Untuk sekelas peradaban yang bisa dibaca Abad 4-5 M kita sudah sangat hebat sekali khususnya di Batang Kuantan, apakah sebelum Abad 4-5 M kita sudah ada penduduk asli di Batang Kuantan kemungkinan iya adanya, namun secara peradaban baru penulis baca berkisar di Abad 4-5 M.

Sumber :

1.  Boechari, 2012, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti : Tracing Ancient Indonesia History Through Inscription, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia.

2.  Hamka, 2016, Sejarah Umat Islam Pra Kenabian Hingga Islam Di Nusantara, Jakarta, Gema Insani.

Wallahualam Bissawab  

 

 

 

 

Kerajaan Di Hulu Batang Kuantan, Ada Yang Menyebutnya KANDIS Dan DHAMNA Namun Nama Pasti Belum Dapat Kedudukannya

thumbnail

Alsar Andri Dosen Universitas Islam Kuantan Singingi

Ketika terjadi peristiwa air bah banjir nan besar sekali pada zaman Nabi Nuh As yang terjadi sekitar 3.400 SM diperkirakan terjadinya 6.000 tahun yang lalu, suatu riwayat menerangkan air bah ini menenggelamkan semua permukaan bumi (banjir global) dengan dalil Qs. Nuh : 26-27.

Nuh berkata: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat ma'siat lagi sangat kafir”. Qs. Nuh : 26-27.

Penjelasan pada dalil ini yang mengatakan membinasakan seluruh orang kafir di muka bumi merupakan dalil bahwa banjir ini memang banjir besar (global). Namun di sisi lainnya ada pula para ahli berpendapat banjir pada massa Nabi Nuh As ini hanya banjir lokal semata, menenggelamkan sekompok pada penduduknya meliputi wilayah Mesopotamia yakni wilayah Turki, Iran dan Rusia.

Pada waktu air bah melanda, Nabi Nuh As berseru kepada anaknya Qs. Hud : 42.

“Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir". Qs. Hud : 42.

Riwayat menjelaskan yang dimaksud “Nuh memanggil anaknya” adalah Qanaan, adapula riwayat lain menyebutkan anaknya bernama Yam. Sedangkan anak Nabi Nuh yang ikut serta beliau yakni Sam, Ham dan Yafits. Ketiga anak cucu Nabi Nuh As inilah yang kelak melanjutkan keturunan. Qs. Ash-Shaffaat : 77.

“Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan”. Qs. Ash-Shaffaat : 77.

Diriwayatkan dari sahabat Samurah bahwasanya Nabi Muhammad Saw bersabda :

“Sam adalah kakek moyang orang Arab, Ham adalah kakek moyang Orang  Habsy dan Yafits adalah kakek moyang orang Romawi”.

Ham adalah kakek moyang orang Habsy yakni Ethiopia, Afrika dan Asia, boleh dikata kita yang berada di Asia ini adalah keturunannya Ham Bin Nuh. Berarti nantinya dari silsililah keturunan bisa diatrik terus ke atas kerajaan yang ada di hulu batang Kuantan itu dari anak cucunya Nabi Nuh yang bernama Ham Bin Nuh.

Plato (427-347 SM) pernah menukilkan ada kehidupan pada massa jauh sekali, terkadang anggapan Plato ini dianggap dongeng belaka namun tak sedikit pula yang membenarkan, kehidupan itu bernama Atlantis. Atlantis merupakan negeri yang makmur kehidupannya, termegah, termaju pada zamanya makmur dan sejahteralah, ini gambaran dari kehidupan Atlantis itu, tiada gambaran kehidupan yang semakmur Atlantis dibanding dengan negeri-negeri yang ada pada zamanya, begitulah Atlantis.

Banyak para peneliti, dari AS dan yang agak popular Prof. Arysio Nunes do Santos asal Brazil, pendapat para ahli ini kecenderungan mereka menyebutkan Atlantis yang hilang itu merujuk kepada Indonesia dengan berbagai ciri-ciri yang telah ditetapkan salah satunya adalah berpulau-pulau. Prof. Umar Anggara Jenny (Kepala LIPI Periode 2002-2010) beranggapan sisa terpenting dari Atlantis adalah Kepulaun Riau yakni Kabupaten Natuna. Ada semacam kecendrungan lagi dan mulai mengerucut bahwasannya Atlantis itu merujuk ke Indonesia, Indonesia merujuk ke Kepulaun Riau dan adapula mneyatakan di Riau, sedangkan Riau mengerucut ke Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi mengerucut ke Kecamatan Kuantan Mudik Lubuk Jambi.

Apa benar ? Kabupaten Kuantan Singingi Kecamatan Kuantan Mudik Lubuk Jambi merupakan bekas dari pada Atlantis yang hilang disebut Plato itu ? memang mewah, ranggilah berarti Kabupaten Kuantan Singingi ini, negeri yang dulu tentram, aman damai sentosa makmur sejahtera pula. Tepat pula lokasi yang dirujuk itu pada satu kehidupan yang nyata adanya terdapak situs peninggalan kerajaan di hulu batang kuantan ada yang menyebutnya Kerajaan Kandis dan adapula yang menyebutnya Kerajaan Dhamna, ada pendapat mengatakan adanya kerajaan ini sejak abad 1 SM dan adapula pada abad 7 M semasa Kerajaan Sriwijaya, namun semua itu belum tentu kedudukan pastinya.

Namun dirasa tak ada kekeliruan yang jauh melenceng dengan perujukan Atlantis yang hilang itu kepada Kabupaten Kuantan Singingi Kecamatan Lubuk Jambi, disitu memang ada situs peninggalan kerajaan yang konon dikabarkan begitu makmur dan sejahtera, kubah kerajaannya yang besar dan megah terbuat semuanya dari lapisan emas sehingga dipercayai emas yang banyak di aliran sungai batang kuantan itu merupakan sedikit dari serpihan kubah emas megah tersebut hingga batang kuantan menjadi lokasi aktivitas dompeng emas yang ramai sekrang ini tak habis-habisnya pula karena memang sifat emas di Kabupaten Kuantan Singingi adalah aliran emas alluvial membentang sepanjang aliran batang kuantan. Secara geografis, dulu sebelum meyatu menjadi bukit dan gunung-gunung tinggi menjulang-julang bukit barisan itu, geografis itu pulau pula. Dikabarkan pula Atlantis itu hilang diakibatkan letusan gunung berapi nan besar sangat, sama pula itu keadaan sekarang geografis yang ada.

Itulan sekelumit gambaran keraajaan yang ada di hulu batang kuantan. Bersambung dan sampai di sini saja, ini merupakan awalan naskah tentang kerajaan yang ada di hulu batang kuantan. Semoga tersusun selesai ditahun 2021.

Amin       


Tentang Administrasi Pertama Kali Dalam Islam

thumbnail

Ada beberapa istilah merujuk pada administrasi seperti kata Yudabbiru. KataYudabbiru terdapat dalam Al-Quran, beberapa kali kata Yudabbiru dinukilkan, salah satunya dalam Qs Yunus (10) Ayat 3.

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur (Yudabbiru) segala urusan……….” Qs Yunus (10) Ayat 3.

Kata Yudabbiru merupakan deviasi dari kata dabbara (mengatur). Namun Yudabbiru diartikan secara luas adalah mengarahkan, mengelola, melaksanakan, menjalankan, mengatur atau mengurusi. Namun kata ini (Yudabbiru) serasa lebih tepat disematkan pada istilah Piagam Madinah konstitusi (aturan) awal bernegara di Madinah pada massa Rasulullah Saw mengatur tatanan kehidupan kala itu, sedangkan untuk administrasi yang berkaitan catat mencatat, tulis menulis agaknya masih kurang tepat.

Lantas kapan ? administrasi benar-benar dikenal dan langsung dipraktekkan secara teknis oleh Islam ? Yapzh, pada zaman Khulafaur Rasyidin Umar Ibnu Khaththab r.a. Istilah administrasi pada waktu itu dikenal dengan DIWAN. Ada dua versi terkait kata diwan. Pertama : suatu hari Raja Kisra mengecek sekretaris Negara (sekretaris : kegiatan yang melekat dekat dengan administrasi) namun mereka menulis sambil berdiri, lalu Raja berkata “Diwanuh ayyi majjanin” (tempat duduknya gratis). Keren betul kata Raja ini terhadap sekretarisnya, langsung menyentuh dasar administrasi “kursi dan meja” sebagimana lanjutnya kegiatan ini disebut dengan birokrasi “bureau  dalam bahas Prancis yang berarti “meja kursi kantor”. Kedua : kata diwan dalam bahasa Persia yakni nama untuk setan. Sekretaris negaranya dipanggil dengan nama ini (diwan) karena kejelian mereka dalam menangani berbagai urusan, bak jeli dan hebatnya setan dalam menjalankan tugasnya menggoda anak adam, begitulah hendaknya keprofesionalan seorang sekretaris.

Terus ? apa yang menjadi inspirasi Khulafaur Rasyidin Umar Ibnu Khaththab r.a membuat diwan dalam pemerintahannya ? sebagaimana disebutkan dalam Kitab Al Ahkam Al Sulthaniyah Imam Al-Mawardi menukilkan sebagai berikut :

Para ulama berbeda pendapat faktor yang melatarbelakangi Umar Ibnu Khaththab r.a membuat diwan (administrasi). Sekelompok dari mereka berkata, “Faktor yang melatarbelakanginya adalah suatu hari Abu Hurairah r.a menghadap Umar Ibnu Khaththab r.a dengan membawa sejumlah uang dari Bahrain. Umar Ibnu Khaththab r.a bertanya kepada Abu Hurairah : ‘Berapa jumlah uang yang engkau bawa ?’ Abu Hurairah menjawab : ‘Aku membawa 500 ribu dirham. ‘Umar Ibnu Khaththab r.a menganggap uang tersebut sangat banyak kemudian ia berkata : ‘Tahukah engkau berapa perinciannya ?’ Abu Hurairah berkata : “Ya, 100 ribu dirham sebanyak lima kali’. Umar Ibnu Khaththab r.a berkata : ‘Apakah uang sebanyak itu bisa terkontrol dengan baik ?’ Abu Hurairah berkata : ‘Aku tidak tahu’. Umar Ibnu Khaththab r.a kemudian naik mimbar. Setelah memuji kepada Allah dan menyanjung-Nya, ia berkata : ‘Wahai manusia, sungguh telah datang kepada kita uang dalam jumlah yang banyak. Jika kalian mau, kami akan takar uang itu untuk kalian dan jika kalian mau, kami akan hitung uang itu untuk kalian ?’ Ada seseorang laki-laki dari mereka mengajukan usul : ‘Wahai Amirul Mukminin, aku pernah melihat orang-orang non-Arab membuat diwan (administrasi) untuk mereka. Karena itu, buatlah diwan (administrasi) Negara untuk kita’.

Inilah sejarah administrasi (diwan) pertama seklai dalam Islam, semasa Khulafaur Rasyidin Umar Ibnu Khaththab r.a. Tapi tunggu dulu, ada yang hendak kita bahas lebih lanjut terkait ini diwan (administrasi) setelah kita mengetahui asal-usul, seluk-beluk diwan (administrasi) tersebut. Ya, kita bisa ambil kesimpulan diwan (administrasi) tidak murni asal-usul, seluk-beluknya dari Islam tapi dari dari orang-orang non-Arab bisa saja dalam keterangan ini adalah orang-orang Persia (Ajam) bisa pula dari Romawi (Eropa kini). Karena memang sebelum Islam itu besar tumbuh berkembang dimula pada zaman Rasulullah sampai pada masa Khulafaur Rasyidin dan diteruskan pada masa Islam zaman Bani Umayyah dan Abbasiah Islam sudah diapit dua kekuasaan besar yakni Persia dan Romawi dan ini tak dapat kita pungkiri dan kita bohongi meskipun Islam itu sudah ada sejak 1442 H (hingga 2021), namun tahun ini relative baru jika berkaca ke belakang dengan sejarah bangsa-bangsa terdahulu.

Terus selanjutnya kita bertanya ? Bid’ah-kah ? Haram-Kah ? atau apakah ? tidak baik-kah ? dan lain-lain seterusnya terhadap penghukuman yang bukan asal-usul, seluk-beluknya dari Islam ? Tunggu dulu, jangan cepat menghukumi sesuatu yang baik tapi bukan dari Islam. Islam tentu bukan agama yang sempit, kusut, muram dan kusam, namun Islam merupakan agama nan Ranggi. Mari kita simak pula Hadist Nabi Muhammad Rasulullah Saw besabda : “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang beriman. Di mana saja ia menemukannya maka ambillah”. (HR. Tirmidzi). Hadist ini menarik benang merah serta memberikan pemahaman jika sesuatu yang baik, bukan dari Islam tapi kita temukan itulah milik Islam, bukan lantas kita menghukuminya tak boleh, banyak lagi contoh kasus cerita seperti diwan (administrasi) ini bukan dari Islam namun baik, maka itu milik orang Islam, contoh lainnya seperti kubah masjid yang ditemukan orang Persia dan juga dinar dan dirham, dinar miliknya orang Persia dan dirham Miliknya orang Romawi.

Wallahualam Bissawab


PENATAAN SISTEM HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN PANCASILA SEBAGAI SUMBER SEGALA SUMBER HUKUM NEGARA

thumbnail

 


PENATAAN SISTEM HUKUM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN PANCASILA

SEBAGAI SUMBER SEGALA SUMBER HUKUM NEGARA

Oleh

MHD. HIMSAR SIREGAR, S.Sos., M.Si & ALSAR ANDRI, S.Sos., M.Si

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan Negara hukum atau yang dikenal dengan istilah rechtsstaat atau sejalan dengan istilah rule of law, hukum lah mengatur dan menjadi panglima di Negara ini, bukan malah sebaliknya Indonesia dijalankan tanpa aturan atau hukum sebagaimana Negara rimba siapa yang kuat dia yang berkuasa, atau malah Indonesia ini dijalankan semata-mata berdasarkan kekuasaan semata atau disebut dengan istilah machtsstaat. Tentu ini akan memberikan kewenangan yang terpusat sehingga akan membentuk oligarki.

Oleh sebabnya, Indonesia sangat penting untuk memandang hukum sebagai suatu yang sakral dan sakti. Karena memang hukum bertujuan dan berfungsi sebagai pencipta keteraturan. Tanpa hukum, maka Indonesia bisa saja tidak akan mencapai tujuan bernegera, ini sebagai mana yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai penjamin setiap hak nyawa warga Negara.

Maka dari itu, segala tindak tanduk pemerintah dan pemerintahan haruslah berlandasakan hukum, dengan artian segala yang dilakukan, diperbuat harus tertera dalam hukum yang jelas dan legal, jika tidak tindakan ini dapat dinamakan sebagai tindakan inkonstitusional sehingga perbuatan yang di lakukan, diperbuat oleh pemerintahan itu dapat dibantah karena memang tidak meiliki dasar yang jelas dan legal formal.

Oleh karenanya, Indonesia yang dikatakan sebagai Negara hukum tadi disebut rechtsstaat bukan Negara kekuasaan semata machtsstaat, perlu menata hukum ini sebagaimana seyogyanya dan seidealnya, agar hukum ini memang benar-benar memiliki ruh yang suci, sakral dan sakti sehingga hukum ini benar-benar menjadi panglima di Negara Indoensia yang megah ini.

Langkah tersebut memang tidaklah semudah membalik telapak tangan, menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi di Negara Indonesia, yang hukumnya sendiri sudah tergerus dan ada pameo yang beredar bahwa hukum tidaklah dapat mengatur, tetapi sudah diatur, hukum hanya berlaku bagi yang tidak punya uang sedangkan yang punya uang tidak berlaku, ibarat kata hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Dari itu, perlulah pula untuk menata kembali sistem hukum itu sendiri agar terlihat lebih garang dan beringas demi kepentingan keteraturan bernegara. Penataan itu dapat bermula dari memaknai Pancasila sebagai benda hidup yang sakti, mengambil semangat Pancasila kembali, serta mengamalkan kembali butir-butir Pancasila sebagai idiil bangsa ini itulah adanya hari kesaktian Pancasila.

Indonesia memposisikan Pancasila sebagai ideologi bangsa ataupun falsafah bangsa Indonesia. Dasar Negara Pancasila ini berkedudukan yang tinggi, karena memang norma dan nilai yang termaktub dalam Pancasila dan butir-butirnya merupakan akumulasi pengejawantahan sistem nasional yang ada pada setiap daerah di Indonesia.

Nilai-nilai luhur dan kearifan lokal (local wisdom) bangsa ini, yang menjadi sumber energi, sumber masukan dan sumber inspirasi dari lahirnya Pancasila sebagai poros tengah ideologi dunia yakni kapitalis-sosialis.

Pancasila merupakan dasar serta landasan ideologi bagi bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar Negara, berarti Pancasila dijadikan pedoman dalam bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pancasila sebagai dasar Negara juga mendasari pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta menjadikan cita-cita hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan Negara Indonesia.

Pancasila sebagai dasar Negara atau idiologi bangsa memposisikan sebagai posisi tertinggi dan nilai-nilai dan norma-norma yang luhur, maka semangat ini dapat ditularkan pada pembentukan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Negara. 

PEMBAHSAN

Definisi Hukum, Sistem Hukum dan Perundang-Undangan

Pengertian Hukum

Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang selanjutnya diambil alih dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Di dalam pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melaksanakan paksaan.

Recht berasal dari “Rectum” (bahasa latin) yang mempunyai arti bimbingan atau tuntutan atau pemerintahan. Bertalian dengan Rectum dikenal kata “Rex” yaitu orang yang pekerjaannya memberikan bimbingan atau memerintah. Rex juga diartikan “Raja” yang mempunyai Regimen yang artinya kerajaan. Kata Rectum dapat juga dihubungkan dengan kata “Directum” yang artinya orang mempunyai pekerjaan membimbing atau mengarahkan. Kata-kata Direktur atau Rector mempunyai arti yang sama. Kata Recht atau bimbingan atau pemerintahan selalu didukung oleh kewibawaan. Seorang yang membimbing, memerintah harus mempunyai kewibawaan. Kewibawaan mempunyai hubungan erat dengan ketaatan, sehingga orang mempunyai kewibawaan akan ditaati oleh orang lain. Dengan demikian perkataan Recht mengandung pengertian kewibawaan dan hukum atau Recht itu ditaati orang secara suka rela. Dari kata Recht tersebut timbul juga istilah “Gerechtigdheid” ini adalah bahasa Belanda atau “Gerechtigkeit” dalam bahasa Jerman berarti keadilan, sehingga hukum juga mempunyai hubungan erat dengan keadilan. Jadi dengan demikian Recht dapat diartikan hukum yang mempunyai dua unsur penting yaitu “kewibawaan dan keadilan”.

Kata Ius (Latin) berarti hukum, berasal dari bahasa latin “Iubere” artinya mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur atau memerintah. Perkataan mengatur dan memerintah itu mengandung berpangkal pokok pada kewibawaan. Selanjutnya istilah Ius bertalian erat dengan “Iutitia” atau keadilan. Pada zaman dahulu bagi orang Yunani Iustitia adalah dewi keadilan yang dilambangkan sebagai seorang wanita dengan kedua matanya tertutup dengan tangan kirinya memegang neraca dan tangan kanan memegang sebuah pedang.

Kata Lex berasal dari bahasa latin dan berasal dari kata “Lesere”. Lesere artinya mengumpulkan ialah mengumpulkan orang-orang untuk diberi perintah. Jadi disini terkandug pula berarti hukum sangat erat kaitannya dengan perintah dan wibawa.[1]

Pengertian Sistem Hukum

Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya, proses pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh Negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga, untuk mengkaji pembentukan undang-undang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri.[2]

Sebagai suatu sistem hukum, hal ini menunjukkan hukum dalam arti in action, yaitu hukum dalam mekanismenya atau dalam proses adalah terlibatnya elemen hukum di samping hukum dalam arti subtantif baik tertulis dan tidak tertulis. Selanjutnya, terlibat pula hukum dalam arti struktur, yaitu proses atau institusi atau aktor hukum, terakhir terlibat pula hukum dalam arti kultur, yaitu berupa budaya hukum. Friedman menyatakan sistem hukum yang tengah berlaku (beroperasi) itu berisikan 3 (tiga) komponen antara lain sebagai berikut :

1.  Komponen struktural, yaitu bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme, misalnya pengadilan sebagai suatu contoh yang jelas dan sederhana. Ia mempunyai mahkamah hakim yang bersidang di tempat tertentu, dengan batas yurisdiksi (proses) yang ditentukan, demikian pula kejaksaan, kepolisian (sebagai institusi) merupakan contoh dari komponen struktural ini.

2.  Komponen kedua adalah subtansi, yaitu ketentuan-ketentuan, alasan, alasan hukum atau kaidah-kaidah hukum (termasuk yang tidak tertulis), yang merupakan hasil aktual yang dibentuk oleh sistem hukum.

3.  Komponen ketiga adalah sikap publik dan nilai-nilai atau budaya hukum yang memberikan pengaruh positif atau negative kepada tingkah laku yang bertemali dengan hukum atau pranata hukum. Dalam wujudnya, budaya hukum ini dalam hubungannya dengan sistem hukum menentukan apakah orang akan mendayagunakan pengadilan, polisi atau jaksa dalam menghadapi sesuatu kasus. Disini budaya hukum menentukan apakah komponen struktural dan komponen subtansi dalam sistem hukum mendapat tempat logis, sehingga menjadi milik masyarakat.[3]

Apa yang dikemukan Friedman di atas tidak lain adalah penjabaran hukum sebagai “suatu sistem”. Dalam pratiknya, hukum sebagai sistem maka ketiga komponen itu mempunyai hubungan yang erat sekali. Struktural, dipengaruhi secara timbal balik oleh subtansi dan demikian pula struktural dan subtansi dipengaruhi pula oleh komponen sikap publik dan nilai-nilai.[4]

Pengertian Undang-Undang

Dalam UUD 1945, tidak terang apa lingkup batasan pengertian undang-undang. Pasal 20 UUD 1945 hanya menyebut kewenangan DPR untuk membentuk undang-undang dengan persetujuan bersama dengan pemerintah. Pasal 24C ayat (1) hanya menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Istilah yang dipakai adalah “undang-undang” dengan huruf kecil.

Biasanya, penggunaan huruf besar “Undang-Undang” dipahami dalam arti nama atau sebutan undang-undang yang sudah teretntu (definite), mislanya dengan nama dan nomor tertentu, seperti Undag-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jika digunakan hurud kecil “undang-undang” maka yang dimaksudkan adalah kata undang-undang dalam arti umum atau belum tertentu atau terkait dengan nomor dan judul tertentu. Dengan kata lain, “undang-undang” adalah genus, sedangkan “Undang-Undang” adalah perkataan yang terkait dengan undang-undang tertentu atau dikaitkan dengan nama tertentu.[5]

Jika demikian, maka undang-undang itu dapat dipahami sebagai naskah hukum dalam arti luas, yang menyangkut materi dan bentuk tertentu. Jeremi Bentham dan John Austin, misalnya mengaitkan istilah ‘legislation’ sebagai “any form of law-making”. “The term is, however, restricted to a particular form of law-making, viz. the declaration in statutory form of ruler of laws by the legislature of the state. The law that has its source in legislation is called enacted law or statute or written law”. Dengan demikian, bentuk peraturan yang dikaitkan dengan pengertian “enacted law”, “statute” atau undang-undang dalam arti luas.[6]

Pembentukan norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract legal norm) berupa peraturan yang bersifat tertulis (statutory form), pada umumnya didasarkan atas beberapa hal. Pertama, pembentuknnya diperintahkan oleh undang-undang dasar; Kedua, pembentukannya dianggap perlu karena kebutuhan hukum. Ketentuan mengenai prosedur pembentukan undang-undang telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undag-undang ini dibentuk dengan pertimbangan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan slah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan, maka Negara Republik Indonesia sebagai Negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.[7]

Definisi Sistem Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa Indonesia dan Sumber Hukum

Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa

Sebagai dasar (falsafah) Negara, Pancasila secara konstitusional disahkan pada 18 Agustus 1945 merupakan pandangan hidup, ideologi nasional dan ligature (pemersatu) dalam kehidupan kenegaraan Indonesia. Dalam posisinya seperti ini, Pancasila juga menjadi sumber jati diri, kepribadian, moralitas dan haluan keselamatan bangsa. Lebih jauh, Latif (2011) dengan sangat antusias melukiskan Pancasila sebagai dasar statis yang mempersatukan, sekaligus bintang penuntun (leitstar) yang dinamis yang mengarahkan bangsa ndonesia dalam mencapai tujuannya. Hal itu terurai dengan sangat jelas dan runut dalam sila-sila Pancasila, sebagai berikut ini :

1.  Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa

Bangsa Indonesia mengakui bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta dan manusia adalah ciptaan-Nya. Negara Indonesia berhasil didirikan atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa. Indonesia bukan Negara sekuler juga bukan Negara teokrasi. 

2.  Sila Kedua Pancasila, Kemanusian yang Adil dan Beradab

Bangsa Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia yang dianggap penting fundamen etika politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia.

3.  Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia

Prinsip kebangsaan Indonesia mempunyai fondasi yang kuat, yaitu Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dalam internalisasi nilai-nilai persaudaraan kemanusian ini, Indonesia adalah Negara persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan dan kebhinekaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan persatuan yang diuangkapkan sebagai “Bhineka Tunggal Ika”.

4.  Sila Keempat Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawartan-Perwakilan

Sila keempat dari Pancasila menunjukan bahwa Negara Indonesia merdeka adalah Negara yang berdasarkan kerakyatan (demokrasi). Demokrasi yang berdasarkan kerakyatan adalah suatu proses yang melibatkan sejarah kebangsaan Indonesia dan menjadi proses penting kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

5.  Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia

Bangsa Indonesia yang menghendaki terwujudnya keadilan sosial, yaitu terwujudnya keserasian antara peran manusia sebagai mahkluk individu dan makhluk sosial, keserasian antara hak sipil dan politik dengan ekonomi sosila budaya.[8]

Dari sila-sila Pancasila yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa berbeda dengan dasar falsafah Negara yang berasal dari Eropa baik yang didasarkan kepada kontrak seluruh individu dalam masyarakat (contract sociale dari Hobbes, JJ Rouseau), teori kelas (class theory Hegel dan Adam Muller). Dasar falsafah Negara Indonesia terbentuk atas kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Karena itu Negara mengatasi semua golongan yang ada dalam masyarakat, Negara tidak memihak pada satu golongan yang ada, karena Negara adalah masyarakat itu sendiri. Sebagai falsafah Negara, Pancsila merupakan produk dari suatu proses hasil pergerakan perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan dan didasari oleh pandangan ontologis tentang hakikat manusia sebagai subjek pendukung Negara.[9]

Nilai-nilai dan norma-norma dasar kenegaraan terangkum dalam Pancasila. Indonesia berakar dari sejarah, agama, adab atau budaya, serta hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang saat NKRI masih berbentuk kerajaan. Pancasila yang dijadikan sebagai ideologi Negara mula-mula digagas dan disampaikan oleh Muhammad Yamin saat berpidato pada 29 Mei 1945. Oleh Soekarno, pada 1 Juni 1945, kemudian dikemukan gagasan serupa dengan subtansi yang sama.

Perjalanan Pancasila sebagai dasar Negara tak pernah sepi dari berbagai ancaman dan penyimpangan. Di masa Soekarno misalnya, Pancasila dibuntuti oleh kelompok komunis yang hendak mengganti dasar Negara tanpa Tuhan (Negara Komunis). Haluan politik Soekarno yang lebih condong ke Soviet pada waktu itu, menjadi jembatan emas kelompok-kelompok komunis untuk melegitimasi aksi-aksinya.[10]

Setali tiga uang, Soeharto yang pada awalnya tampil gagah membela Pancasila, termasuk propaganda Soeharto yang seolah menyelamatkan Pancasila dalam peristiwa berdarah 30 September 1965, yang kemudian dikenal sebagai Hari Kesaktian Pancasila, saat Pancasila berusaha diganti dengan komunisme anti tuhan yang sama sekali jauh dari jiwa bangsa Indonesia. Dalam rentang waktu 32 tahun pemerintahan Soeharto, Pancasila menjadi hantu dan momok yang menakutkan bagi rakyat. Dalih menciptkan stabilitas yang dibungkus dengan niat ingin melanggengkan kekuasaan, menjadi alasan tindkan refresif rezim Soeharto (Orde Baru).[11]

Pancasila sebagai dasar Negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia harus dihayati secara mantap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Sudah menjadi keyakinan, bahwa segenap bangsa Indonesia akan melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konskwen, mengingat hal tersebut pada hakekatnya merupakan inti pokok sejarah bangsa dan Negara Indonesia.

Pancasila merupakan pilihan utama bagi Negara dan bangsa Indonesia dan telah berakar serta mendarah daging sejak berabad-abad kemudia menjadi pedoman serta landasan hidup bangsa dan Negara untuk setiap kegiatan penyelenggaraan roda pemerintahan maupun kehidupan sehari-hari. Segala perhatian yang tetap lurus dan dijaga kemurniannya dalam setiap pelaksanaan antra lain dengan mewujudkan Pancasila melalui usaha-usaha pembangunan, menetapkan serta mengoperasionalkan Pancasila dalam kehidupan pemerintahan sehari-hari berupa kebijakan (policy) pemerintah ataupun peraturan perundang-undangan yang mencerminkan semangat dan isi dari pada Pancasila, hal ini akan terlaksana bila kita dapat memahami dan mampu menjabarkan Pancasila itu dalam wujud kebijakan pemerintah atau perundang-undangan yang pada gilirannya akan dilaksanakan oleh rakyat.[12]

Bahwa memang diperlukan suatu bentuk penafsiran atau penjabaran Pancasila yang sifatnya resmi dan mengikat seluruh warga Negara guna mengatur kehidupan bersama dalam republik ini. Dan hal ini tidak dapat lain kecuali terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta penjelasannya yang kemudian dilaksanakan selanjutnya dalam ketetapan MPR (S) terutama yang menyangkut Garis-garis Besar Haluan Negara serta selanjutnya diuraikan dalam peraturan perundang-undangan ataupun kebijakan pemerintah, karena seluruh pasal-pasal yang terdapat didalamnya haruslah merupakan perincian pelaksanaan lebih lanjut dari pada Pancasila itu sendiri, sebab Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum. Karena Pancasila sudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka ia diterima sebagai dasar Negara yang mengatur hidup ketatanegaraan.[13]

Pengertian Sumber Hukum

Dalam bahasa Inggris sumber hukum itu disebut “source of law”. Perkataan “sumber hukum” itu sebenarnya berbeda dengan perkataan “dasar hukum”, “landasan hukum” ataupun “payung hukum”. Dasar hukum atau landasan hukum adalah legal basis atau legal ground, yaitu perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dibenarkan secara hukum. Sedangkan perkataan sumber hukum lebih menunjuk kepada pengertian tempat dari mana asal-muasal suatu nilai norma tertentu berasal. Dalam Pasal 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 ditentukan bahwa : (1) Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan, (2) Sumber hukum terdiri atas sumber hukum dasar nasional adalah (i) Pancasila sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan yang maha esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permisyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan (ii) batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.[14]

Akan tetapi dalam pandangan Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State”, istilah sumber hukum itu (source of law) dapat mengandung banyak pengertian, karena sifatnya yang figurative and highly ambiguous.

Pertama : yang lazimnya dipahami sebagai source of law ada 2 (dua) macam, yaitu custom dan statute. Oleh karena itu, source of law biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation, yaitu customery and statutory creation of law.

Kedua : source of law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity of law. Semua norma yang lebih tinggi merupakan sumber hukum bagi norma hukum yang lebih rendah. Oleh karena itu, pengertian sumber hukum (source of law) itu identik dengan hukum itu sendiri (the source of law always itself law).

Ketiga : source of law  juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis, seperti norma moral, etika, prinsip-prinsip politik ataupun pendapat para ahli dan sebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum, sehingga dapat pula disebut sebagai sumber hukum atau the source of law.

Nilai dan norma agama dapat pula dikatakan menjadi sumber yang penting bagi terbentuknya nilai dan norma etik dalam kehidupan masyarakat, sementara nilai-nilai dan norma etika itu menjadi sumber bagi proses terbentuknya norma hukum yang dikukuhkan atau dipositifkan oleh kekuasaan Negara. Dalam dinamika kehidupan masyarakat, ketiga jenis nilai dan norma itu pada pokonya sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian dan sekaligus sistem referensi mengenai prilaku ideal dalam setiap tatanan sosial (social order). Sebab, jika ketiga jenis norma itu saling menunjang, maka ketiga sistem referensi perilaku itu dapat bekerja secara simultan dan saling mendukung.

Terkait dengan hal ini, penting juga untuk memperbandingkan mengenai penggunaan istilah sumber hukum (source of law) dalam sistem berfikir fiqih Islam dengan penggunaannya menurut pengertian ilmu hukum pada umumnya. Hal ini penting untuk digambarkan karena tradisi yang dianut dalam sistem fiqih Islam, perkataan sumber hukum itu diartikan secara berbeda sama sekali dari pengertian yang biasa dipakai dalam ilmu hukum kontemporer. Dalam fiqih Islam, yang diartikan sebagai sumber hukum itu, disuatu pihak berarti “sumber rujukan”, tetapi dilain pihak kadang-kadang dapat diidentikan dengan pengertian metode penalaran hukum (legal reasoning).

Misalnya, yang dianggap sebagai sumber hukum adalah (i) Al-Quran, (ii) Al-Sunnah, dan (iii) ijtihad atau inovasi (innovation) dan invensi (invention). Adapula sarjana yang merumuskan kategori sumber hukum itu terdiri dari (i) Al-Quran, (ii) Al-Hadist, (iii) Ijma dan (iv) Qiyas. Ada lagi yang merumuskan sumber hukum itu meliputi (i) Syariat yang diwayukan (wahyu), (ii) Sunnah sebagai teladan rasul, dan (iii) akan dengan menggunakan metode berpikir tertentu.[15]

Sumber hukum dalam bahasa Inggris source of law. Sumber hukum menunjukkan pada pengertian tempat darimana asal-muasal suatu nilai atau norma tertentu berasal[16]. Sumber hukum Indonesia adalah segala sesuatu yang memiliki sifat normatif yang dapat dijadikan tempat berpijak bagi dan atau tempat memperoleh informasi tentang sistem hukum yang berlaku di Indonesia[17]. Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis Negara agar supaya setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pancasila adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan dan watak dari rakyat Negara yang bersangkutan serta menjadi tempat berpijak atau bersandar bagi setiap persoalan hukum yang ada atau yang muncul di Indonesia, tempat menguji keabsahan baik dari sisi filosofis maupun yuridis.

Secara yuridis, fungsi pokok Pancasila sebagai dasar Negara pernah dirumuskan pada Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, yang dikuatkan dengan Ketetapan V/MPR/1973, dan kemudian dikuatkan lagi dengan Ketetapan MPR II/MPR/1978 dan Ketetapan MPR IX/MPR/1978, yang menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum atau sumber tata tertib hukum Indonesia yang sekaligus merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta watak dari bangsa Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dijelaskan kembali dalam Ketetapan MPR III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan  bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila[18]. Kemudian ditegaskan kembali melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang telah mengalami Perubahan yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 secara umum memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis; asas pembentukan jenis, hierarki, dan materi muatan, perencanaan, penyusunan, teknik penyusunan, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang, pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; pengundangan, penyebarluasan, partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya.

Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ini, seperti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik penyusunan Peraturan Perundangundangan. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan Peraturan Perundangundangan, termasuk Peraturan Perundang-undangan di daerah[19].

Pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Pancasila berarti pembentukan ayat, pasal, dan atau semua aspek pembuatan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah Pancasila itu sendiri. Pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum Pancasila saat ini tunduk kepada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 yang telah mengalami Perubahan yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pancasila adalah sumber segala sumber hukum Negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum Negara sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila harus diletakkan sebagai kaidah dasar, groundnorms atau sumber segala sumber hukum yang menjadi dasar bagi berlakunya UUD 1945. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis Negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

 

DAFTAR PUSTAKA

A.  Buku


Ilahm Bisri, 2014, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press.

Jimly Asshidiqie, 2017, Perihal Undang-Undang, Depok, Rajawali Pers.

Jimly Asshidiie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Konstitusi Press.

Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, 2016, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika.

Pipin Syaripin dan Dedah Jubaedah, 2012, Ilmu Perundang-Undangan, Bandung, Pustaka Setia.

R. Soeroso, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, Jakart, Sinar Grafika.

Subiako Tjakrawerdaja dkk, 2017, Sistem Ekonomi Pancasila, Jakarta, Rajawali Pers.

Tamsil Linrung, 2014, Politik Untuk Kemanusiaan Mainstream Baru Gerakan Politik Indonesia, Tangerang Selatan, PT. Tali Writing & Publishing House.

Yuliandri, 2011, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundag-Undangan Yang Baik Gagasam Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, Rajawali Pers.

Zaini Tarmidzi, 1992, Capita Selecta Pemerintahan, Bandung, Angkasa.

B. Peraturan Perundang-Undangan dan Dokumentasi lainnya

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembantukan Peraturan Perundang-Undangan.

Bambang Sardono, 2019, Penataan Sistem Ketatanegaraan. Badan Pengkajian MPR RI.


[1] R. Soeroso, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, Jakart, Sinar Grafika, hlm 25-26.

[2] Yuliandri, 2011, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundag-Undangan Yang Baik Gagasam Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, Rajawali Pers, hlm 31.

[3] Kadri Husin dan Budi Rizki Husin, 2016, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm 4-5.

[4] Ibid, hlm 4.

[5] Jimly Asshidiqie, 2017, Perihal Undang-Undang, Depok, Rajawali Pers, hlm 21.

[6] Ibid, hlm 21-22.

[7] Jimly Asshidiqie, Op Cit, hlm 179.

[8] Subiako Tjakrawerdaja dkk, 2017, Sistem Ekonomi Pancasila, Jakarta, Rajawali Pers, hlm 35-36.

[9] Ibid, hlm 36.

[10] Tamsil Linrung, 2014, Politik Untuk Kemanusiaan Mainstream Baru Gerakan Politik Indonesia, Tangerang Selatan, PT. Tali Writing & Publishing House, hlm 57-58.

[11] Ibid, hlm 59.

[12] Zaini Tarmidzi, 1992, Capita Selecta Pemerintahan, Bandung, Angkasa, hlm 1.

[13] Ibid, hlm 2-3.

[14] Jimly Asshidiie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Konstitusi Press, hlm 151-152.

[15] Ibid, hlm 152-154.

[16] Pipin Syaripin dan Dedah Jubaedah, 2012, Ilmu Perundang-Undangan, Bandung, Pustaka Setia, hlm 40.

[17] Ilahm Bisri, 2014, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-Prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, hlm 7.

[18] Bambang Sardono, 2019, Penataan Sistem Ketatanegaraan. Badan Pengkajian MPR RI.

[19] Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembantukan Peraturan Perundang-Undangan.