Home » » TELAAH KRITIS SISTEM SOSIAL ISLAM

TELAAH KRITIS SISTEM SOSIAL ISLAM

 


TELAAH KRITIS SISTEM SOSIAL ISLAM

 

Oleh :

Alsar Andri, S.Sos., M.Si[1]

 

Abstrak

Islam adalah Agama yang syamil, Islam bukan agama yang parsial, sempit dan setengah. Kesempurnaan Islam ini telah direstui dan ridhoi oleh Allah SWT. Islam menjadi nyata dan bakulah sebagai sistem hidup berkehidupan orang yang untuk dunia dan menuju akhirat yang kekal dan lebih lama. Telaah kritis bukan mencari sudut kurang Islam itu sendiri, karena Islam sudah sempurna tak ada cacat sedikitpun. Namun kita coba berpikir secara mendalam, tersistematis kenapa Islam yang sempurna ini tidak begitu penerapannya dalam kehidupan sekarang ini, inilah yang menjadi pokok pikiran pada telaah kritis sistem sosial Islam kali ini.

Kata Kunci : Islam dan Sosial

PENDAHULUAN

Islam adalah Agama yang syamil/syumul/universal/menyeluruh lengkap dan sempurna, Islam bukan agama yang parsial, sempit dan setengah. Kesempurnaan Islam ini telah direstui dan ridhoi oleh Allah SWT dan Rasulnya Muhammad SAW sebagaimana termaktub dalam Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat 3 :


“…..Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu ….”. (Al-Maidah : 3).

Kesempurnaan Islam ini, bukan hanya terbatas pada konteks ukhrawi (akhirat) semata, seperti peribadatan maqdhoh dan ghairu maqdho namun juga mencakup persoalan keduniawian. Oleh karenanya Islam bukan hanya agama akhirat saja, namun juga menyentuh aspek keduniawian dan keduanya saling melengkapi dan berkeseimbangan (tawazun).

Islamlah dikirakan satu-satunya Agama samawi[2] yang utuh dan murni yang ada dimuka bumi ini, karena memang kemurnian Islam sudah mendapat jaminan dari sang penciptanya itu sendiri, kemurnian itu dengan terpeliharanya hukum tertinggi pedoaman tertinggi dalam Islam itu sendiri yakni Al-Quranul Karim, sebagaimana firman Allah SWT Al-Quran Surat Al Hijr Ayat 9 :


“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr : 9).

Islam nan tinggi ini, yang diyakini bukan hanya sebagai agama ukhrawi saja, tetapi lebih kepada pedoman kehidupan di dunia (way of life) serta juga sebagai pembeda baik dan buruk (alfurqon), membuktikan bahwa Islam bukan untuk keselamatan akhirat tapi juga untuk hidup bahagia di dunia, sebagaiman lantunan doa “sapu jagat” kita sebagai penutup akhir doa. Sebagaimana lafasnya : Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina 'adzabannar yang berarti : "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". “Doa itu terdapat dalam Alquran Surat Al Baqarah Ayat 201.

Oleh sebabnya Islam menjadi nyata dan bakulah sebagai sistem hidup berkehidupan orang yang untuk dunia dan menuju akhirat yang kekal dan lebih lama, kelamaan akhirat itu juga sudah dituangkan dalam Al-Quran Surat Al Hajj Ayat 47 :


Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu ”. (Al Hajj : 47). Oleh, setengah hari di akhirat sama dengan 500 tahun di dunia.

Maka dari itu sempurnalah Islam itu untuk kita secara teguh, mesti apapun yang akan terjadi, peganglah Islam ini sebagaimana kuatnya engkau menggigit dari gigi geraham mu. Islam bukan saja sebagai sistem sosial semata tapi lebih dari itu. Namun untuk kali ini kita akan paparkan Islam sebagai sistem sosial yang sangat luar biasa sebagaimana yang telah dicontohkan nabi Muhammad SAW ketika berkehidupan di Madinal Al Munawarah bersama para sahabat Muhajirin dan Anshor maka benarlah Rasul itu sebagai contoh se contoh-contohnya.

Karena itu, telaah kritis yang kita maksud pada bagian ini bukanlah kita mencoba-coba untuk mencari sudut kurang Islam itu sendiri karena Islam sudah sempurna tak ada cacat sedikitpun bukan pula kita hendak menilainya sebagai mana kita menjadi penonton pada pertandingan sepak bola, seolah-olah kitalah yang lebih hebat dari pemainnya sekelsah lionel messi sekalipun. Namun kita coba berpikir secara mendalam, tersistematis kenapa Islam yang sempurna ini tidak begitu penerapannya dalam kehidupan sekarang ini, serasa jauh panggang dari api, kapan ikan masak. Inilah yang menjadi pokok pikiran kita pada telaah kritis sistem sosial Islam kali ini.

PEMBAHASAN

Kajian Teoritis

Sebelum kita jauh beranjak dari penglihatan kita kepada Sistem Sosial Islam, ada baiknya pula kita coba artikan kata per kata dari judul makalah ini (etimologi) serta nanti kita akan sampaikan pula pengertian yang utuh itu pada lanjutnya (terminologi).

Pengertian telaah itu penyelidikan; kajian; pemeriksaan; penelitian,[3] maka itu kata yang paling menunjukkan keilmiahan adalah penelitian, melihat fenomena ke sosialan dan keislaman harus dengan penelitian dan sistematislah syarat dari penelitian itu.

Pengertian kritis, genting; gawat; akut; tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian; secara mendalam.[4]

Pengertian sistem, kata sistem berasal dari bahsa Yunani yaitu “systema” yang mempunyai arti sebagai berikut suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian atau hubungan yang berlangsung dari komponen-komponen yang banyak.[5]  

Pengertian sosial, segala sesuatu yang mengenai masyarakat; perduli terhadap kepentingan umum.[6]

Pengertian Islam itu sendiri yakni sebuah sistem nilai yang komprehensif, mencakup dimensi seluruh kehidupan. Dia memberi petunjuk bagi kehidupan manusia dalam aspeknya dan menggariskan formulasi sistematik yang akurat tetang hal itu.[7]

Maka dengan telah kita memahami kata perkata arti dari judul ini dapatlah kita simpulkan bahwasanya “Telaah Kritis Sistem Sosial Islam” itu adalah bagaiman kita menyelidiki secara mendalam suatu yang utuh tentang sosial dalam islam itu sendiri, bagaima hakikatnya untuk kita terapkan sehingga ia benar-benar menjadi ajaran yang memang untuk diterapkan secara gamblang dan dapat dinikmati kebaikannya bagi seluruh alam, sebagaimana tertera pada Al-Quran Surat Anbiya Ayat 170 :


Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia. (Al Anbiya : 107).

Kajian Telaah Kritis

Banyak aspek yang bisa kita angkat pada topik sistem sosial dalam Islam ini, karena memang Islam ini luas dan rahmatan alamin, kebermamfaatannya bukan saja buat manusia tapi alam, semua makhluk yang ada di muka bumi ini, begitu lah luasnya Rahmat Islam itu. Namun pada kali ini tidaklah akan semuanya kita coba telaah, beberapa saja sebagai pengantar untuk dapat dilanjutkan pada bab yang lainnya, diantaranya:


1.  Islam Menganjurkan Persatuan dan Persaudaraan

Islam sangat menganjurkan kita untuk bersatu, karena ini modal awal kita untuk bergerak. Bagaima mungkin akan membangun tapi tak “se ruang dan tak sebangun”, bagaimana hendak mengayuh jika “ke hilir satu ke mudik satu” dan seterusnya. Inilah yang dalam sirah nabawiyah dilakukan oleh Rasul kita mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar menjadi saudara lebih dari tali senasab sekalipun, begitu lah saudaranya mereka. Sebagaimana kisah yang mahsur seorang sahabat anshar rela memberikan istrinya kepada sahabat muhajirin, ini sebenarnya sebagai itsar, kemuian pula bagaiman antara sahabat anshar dan muhajirin yang berdekatan berdagang (membuka warung) ketika pembeli banyak mampir ke kedai sahabat anshar, maka sahabat anshar menyarankan untuk belanja kedai sahabat muhajirin. Sebagaimana Al-Quran Surat Al-Anbiya Ayat 92 menjelasakan :


“Bahwa sebenarnya ini (manusia) adalah umat yang satu dan aku Tuhan kalian, maka sembahlah aku”. (Al-Anbiya : 92).

Maka dari itu bolehlah kiranya menertibkan orang yang tidak berbait kepada nabi ketika telah bersepakat untuk bersatu, demi tercapainya tujuan. Selain itu, persaudaraan yang erat di atara sesama muslim mestilah harus terjalin tanpa memandang suku dan asal daerah serta keturunan, sebagiaman Al-Quran Surat Al Hujrat Ayat 10 menyebutkan :


“Orang-orang beriman itu sebenarnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, lingkup kamu mendapat rahmat ”. (Al Hujurat : 10).

Berkaca pula kita kepada Indonesia dalam menjalankan sistem sosialnya, sebagaimana diterangkan Nasikun dalam bukunya Sistem Sosial Indonesia nanti barulah kita simpulkan benang merahnya. Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horizontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku-bangsa, perbedaan agama, adat dan kedaerahan. Secara vertikal antara lapisan bawah dan atas yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan itu seringkali disebut dengan ciri masayarakat Indonesia yang bersifat majemuk, yakni masayrakat yang (plural societies).[8]

Kemajemukan ini sangat disadari oleh pendiri bangsa Indosnesia (founding father), maka mereka merumuskan Ideologi bangsa ini yang kita kenal dengan PANCASILA sebagai falsafah bangsa dari kearifan lokal itu sendiri (local wisdom), hal ini termaktub pada sila ketiga yakni dengan bunyi “Persatuan Indonesia”, maka dengan bersatu Indonesia akan kuat, ibarat kata bersatu kita teguh, bercrai kita runtuh, yang ini kemudian dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika (walupun beda tapi tetap satu). 


2.  Toleransi dan Tenggang Rasa


Selain sebagai nabi dan Rasul Allah, Muhammad SAW adalah seorang kepala Negara dan kepala pemerintahan. Dalam kenyataannya beliau telah mendirikan Negara bersama orang-orang Pribumi (Anshar) dan masyarakat pendatang (Muhajirin). Beliau membuat konstitusi tertulis (undang-undang dasar) untuk berbagai suku termasuk Yahudi. Memberikan perlindungan (proteksi) kepada umat non Islam, beliau mengirim dan menerima duta serta membuat ikrar kebulatan tekad Aqabah. Inilah Negara jujur bukan Negara teokrasi karena beliau tidak menganggap dirinya anak tuhan.[9]


Maka inilah nantinya yang disebut dengan masyarakat Madani, yang ditandai dengan adanya kerukunan hidup beragama, bersosial dan berekonomi yang ditandai dengan adanya piagam madinah.


Sebagaimana pengertian masayarakat adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self subsistent), melebihi masa hidup individu normal dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi kepada generasi berikutnya.[10]


Masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupan. Menurut PBB masyarakat madani adalah masyarakat yang demokratis dan menghargai hak-hak tanggung jawab manusia. Menurut Nur Cholis Madjid masyarakat madani merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun nabi Muhammad SAW di negeri Madinah. Sedangkan menurut W.J.S Poerwadarminto masyarakat madani berarti masyarakat kota akan tetapi, masyarakat madani disini tidak asal masyarakat perkotaan tetapi memiliki sifat yang cocok dengan orang kota, yaitu berperadaban.[11]


3.  Kecintaan sesama muslim sama dengan mencitai dirinya sendiri


Tidaklah salah seorang di antara kalian dikatakan benar-benar beriman, sebelum ia menyukai untuk saudaranya (sesama muslim), apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhari).[12]

Sebagaimana juga dinukilkan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna pada bagian Kasih Sayang, betapa inginya kami agar umat ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan, kemulian dan terwujudnya cita-cita mereka, jika memang itu harga yang harus dibayar. Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini selain rasa cinta yang telah mengharu biru hati kami.[13]

Al-Quran sebagai landasan sistem sosial Islam, memberikan cahaya dan apabila jiwa-jiwa penduduk negeri itu telah diterangi oleh cahaya itu, maka lenyaplah segenap perbedaan dan lenyap pula segala kezhaliman. Yang tinggal hanyalah keadilan dan cinta kasih dan persaudaraan.[14]


4.  Bermusyawarah

Setiap waliyyul-amri tidak bisa terlepas dari menerapkan prinsip “musyawarah”. Karena hal itu merupakan salah satu perintah Allah kepada Nabi-Nya Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat Ali Imran Ayat 159 :


“Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah”. (Ali Imran : 159).

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah. Ra dia berkata :

“Tidak seorang pun yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya melebihi Rasulullah SAW”.

Sesungguhnya Allah memerintah musyawarah kepada Nabi-Nya dalam menarik simpati dan melunakan hati para sahabat beliau, serta akan diteladani oleh generasi yang akan datang sesudahnya. Dan pada saat yang sama akan menghasilkan pendapat yang brilian dari masalah-masalah yang tidak disinggung dalam wahyu, semisal strategi perang, masalah-masalah parsial yang bernuansa ijtihad.

Dalam hal ini Allah SWT memuji kaum Muslimin yang komitmen dengan asas musywarah sebagaimana firmannya Al-Quran Surat Asy Syura Ayat 36-28 :


“Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal, dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. (Asy-Syura; 36-38).[15]

Ini pulalah yang disadari oleh Indonesia yang negaranya begitu luas, kala dahulu pada dasar dan semestinya para pendiri ini tidak terlalu suka dengan demokrasi sebagai pengambilan keputusan, mengingat Indonesia yang begitu luas dan akan membebankan biaya yang banyak untuk hal ini. Maka itulah Pancasila kita pada sila ke 4 berbunyi dan bermakna sebagaimana jabarannya : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan” yang berarti :

a.    Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.

b.    Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.

c.    Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.

d.    Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.

e.    Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.

f.     Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.

g.    Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Rumusan inipun diambil dari sistem sosial Indonesia yang telah berjalan sejak lama, sebelum Indonesia ini menjadi sebuah Negara sekarang ini, tertanam sebagai kata pribahasa, sebutan pepatah kearifan lokal (local wisdom) Indonesia, sebagaimana tersebut : “Bulek air dek pabuluah, bulek kato dek mufakat” serta “Sadonciang bak bosi, saciok bak ayam” inilah landasan-landasan bermusyawarah dalam tatanam kehidupan sosial. 


5.  Saling Tolong Menolong

Islam mengajarkan kepada kita untuk saling tolong-menolong terhadap sesama muslim, hal tersebut jelas tertulis dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa kita harus tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.

Menolong keluarga yang membutuhkan lebih bernilai dan berharga ketimbang menolong orang lain. Imam Ali As meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda :


“Mulaillah dari memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Ibumu, ayahmu, saudarimu, saudaramu. Kemudian kepada orang yang terdekat. Sedekah tidak akan diterima selagi salah seorang kerabatnya yang masih miskin dan membutuhkan”.

Demikian juga Imam Shadiq As ditanya, “Apakah memberi sedekah kepada orang-orang fakir yang datang ke rumah-rumah lebih baik atau kepada kerabat sendiri ?” Imam Shadiq As menjawab, “Tidak. Lebih baik mengirimkan sedekah itu kepada keluarganya sendiri. Pahala dan ganjaran (sedekah) ini lebih besar”.

Bahkan apabila keluarga ini bermusuhan dengannya maka pahalanya tetap lebih besar sebagaimana dari Imam Shadiq As diriwayatkan :


“Rasulullah Saw ditanya sedekah manakah yang lebih besar pahalannya dibandingkan dengan sedekah-sedekah lainnya ?” Rasulullah Saw bersabda, “Sedekah kepada kerabat dan keluarga yang memiliki permusuhan dalam dirinya dengan orang yang memberikan sedekah”.

Akan tetapi hal ini bergantung pada sepanjang di antara keluarga yang membutuhkan. Namun apabila tidak ada lagi di antara keluarga yang membutuhkan maka dibolehkan untuk menolong orang lain. Mengingat bahwa setiap orang lebih mengetahui urusan keluarganya dan apabila  ia mengetahui bahwa di antara mereka terdapat seseorang yang membutuhkan. Berdasarkan hal ini, apabila kita semua beramal terhadap tugas ini di tengah masyarakat  maka tidak akan ada lagi orang yang membutuhkan dan fakir akan dijumpai di tengah masyarakat

Muslim adalah orang yang beragama Islam. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya walaupun tidak memiliki hubungan darah. Rasulullah pernah bersabda bahwa seorang muslim dengan muslim lainnya bersaudara, selain itu Rasul juga pernah bersabda bahwa tidak sempurna iman seseorang dari kalian sampai dia mencintai saudaranya (sesama Islam) sebagaimana mencintai dirinya.


Dari Abu Hurairah  dia berkata : Rasulullah  bersabda: “Barangsiapa yang membantu seorang muslim (dalam) suatu kesusahan di dunia maka Allah akan menolongnya dalam kesusahan pada hari kiamat, dan barangsiapa yang meringankan (beban) seorang muslim yang sedang kesulitan maka Allah akan meringankan (bebannya) di dunia dan akhirat”.

Hadits yang agung menunjukkan besarnya keutamaan seorang yang membantu meringankan beban saudaranya sesama muslim, baik dengan bantuan harta, tenaga maupun pikiran atau nasehat untuk kebaikan.

Imam an-Nawawi berkata : “Dalam hadits ini terdapat keutamaan menunaikan/membantu kebutuhan dan memberi manfaat  kepada sesama muslim sesuai kemampuan, (baik itu) dengan ilmu, harta, pertolongan, pertimbangan tentang suatu kebaikan, nasehat dan lain-lain”.

Islam tidak hanya memerintahkan untuk bersikap tolong-menolong kepada sesama umat Islam saja, kepada orang yang berbeda agama pun kita harus berbuat kebaikan, hanya saja kebaikan tersebut tidak mengarah kepada agama yang dianut.  Jangan ada pemaksaan agama tersembunyi dibalik sikap menolong yang diberikan. Kalaupun memang pada akhirnya mereka mendapatkan hidayah pada agama Isalm, maka itu karena keyakinan bukan paksaan.

Suatu kali Ali bin Abi Thalib r.a. bertanya kepada Rasululllah tentang asas-asas yang mendasari perilaku utama dan kebajikan-kebajikan beliau, dan Rasulullah menjawab :


“Ilmu pengetahuan adalah modalku, akal pikiran adalah dasar dasar agamaku, ingat kepada Allah adalah sahabatku, cemas adalah kawanku, sabar adalah bajuku, pengetahuan adalah tanganku, kepuasan adalah harta perolehanku, menolak kesenangan (yang berlebihan) adalah profesiku, keyakinan adalah makananku, kebenaran adalah saranak, taat adalah perbekalanku, jihad adalah kebiasaanku dan kesenangan hatiku ialah dalam mengerjakan ibadah”.[16]

Sistem sosial tolong menolong inipun pada konteks ke Indonesian sudah berjalan lama, sejak nenek moyang kita dahulu, inipun termasuk salah satu kearifan lokal (local wisdom) yang ada di Indonesia, apa istilahnya, istilah itu dikenal dengan gotong royong, batobo (bahasa daerah Kuantan Singingi), ada yang bersama-sama menuai (panen) padi keladang guru ngaji, orang lagi sakit tak sempat untuk keladang lagi, sedang yang lain ladangnya sudah dituai akan takut dimakan pipit (jenis burung) maka disama-samakan secara gotong royong menuai padi itu, bersama-sama kelaut mencari ikan, seiringan kapal berangkat. Ada pula dulu yang namanya penggalah (panggolan bahasa daerah Kuantan Singingi), yang punya satu penggalah tetapi semua kebun memakai penggalah itu, ini tolong menolong dalam komunal sehingga menjadi akar komunis yang sifatnya satu untuk semua tapi punya sisi kebaikan tolong menolong, juga dari Indonesia nilai-nilai komunis ini, maka ketika komunis itu hendak disebarkan di Indonesia, tak payah, tapi mudah diterima karena masyarakat sudah terbiasa dengan nilai itu, kegagalannya terletak pada komunis yang ateis (tak bertuhan).


6.  Diantara Akibat Kerusakan Sistem Sosial Di Mesir

Barangkali ada kesamaan Mesir dengan Indonesia dalam melihat akibat kerusakan yang terjadi pada sistem sosial. Sesungguhnya kita hidup di bagian bumi yang subur airnya segar, udaranya sejuk, rezeki dan kekayaannya melimpah, di tengah-tengah peradaban dan kebudayaan dan ilmu pengetahuan tertua serta kaya dengan peninggalan-peninggalan spiritual dan material yang bernilai tinggi.

Di Negara kita terdapat berbagai bahan baku industri, beragam hasil pertanian dan bahkan seluruh bahan yang dibutuhkan oleh Negara lain. Dan setiap orang asing yang singgah di Mesir merasa sembuh dari sakitnya, kaya dari miskinnya, terhormat setelah hina, damai setelah berputus asa dengan kesengsaraan. Akan tetapi bagi orang mesir sendiri apakah yang sudah di dapatinya ? adakah ini tersebar pada bangsa-bangsa timur ?

Akibat buruk dan krisis sosial yang menimpa diantaranya :

a.    Jumlah petani di Mesir mencapai 80 juta jiwa dengan ladang garap seluas 60 juta hektar, yang berarti setiap orang mendapat bagian ¾ hektar.

b.    Jumlah pekerja di Mesir mencapai 5.718.127 orang (hampir 6 juta orang) ada penganggur sejumlah 511.119 orang, ini berarti lebih dari setengah dari jumlah penduduk tidak bekerja.

c.    Koperasi simpan pinjam telah menangani berbagai aspek kehidupan dan kebutuhan umum.

d.    Angka kesehtan yang memburuk.

e.    20 % yakni ribuan penduduk masih banyak sengsara dan pelajar sekolah belum bisa apa-apa.

f.     Dekadensi moral yang terjadi begitu marak.

g.    Kehilangan sendi-sendi kehidupan materi, ilmu pengetahuan, kekayaan, harta dan kesehatan.[17] 

 

DAFTAR PUSTAKA


A. Buku

Ahmad Sunarto dan Syamsuddin Noor, 2012, Himpunan Hadist Shahih Bukhari, Jakarta, An Nur.

Farida Hamid, 2008, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya, Apollo, hlm 317.

Hasan Al-Banna (Terj), 2012, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 1, Solo, Intermedia.

Hasan Al-Banna (Terj), 2012, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2, Solo, Intermedia.

Ibnu Taimiyah (terj), 2005, Siyasah Syariyah Etika Politik Islam, Surabaya, Risalah Gusti.

Inu Kencana Syafiie, 2004, Ilmu Pemerintahan & Al-Quran, Jakarta, Bumi Aksara.

Kamanto Sunarto, 2000, Pengantar Sosiologi, Jakarta, Universitas Indonesia Pers.

Mahmuzar, 2014, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 45 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Bandung, Nusamedia.

Nasikun, 2016, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers.

B. Dokumentasi

https://www.kompasiana.com/nurchabm4648/5e933de1d541df071248b992/bagaimana-pengertian-dan-karakteristik-masyarakat-madani-civil-society, diakses Hari Minggu, 30-08-2020, Pukul 21.00 Wib.

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/2013/ramadhan/ajaran-tolong-menolong-dalam-islam#:~:text=Islam%20mengajarkan%20kepada%20kita%20untuk,dalam%20perbuatan%20dosa%20dan%20permusuhan., diakses Hari Minggu, 30-08-2020, Pukul 23.00 Wib.



[1] Dosen Tetap Yayasan (DTY) di Universitas Islam Kuantan Singingi (UNIKS) pada Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial. Selain mengajar di UNIKS, juga aktif diberbagai organisasi dan sebagai inisiator Pemoeda Joeang Rakjat (PEJOERA) Kabupaten Kuantan Singingi organisasi yang bergerak dibidang sosial, ekonomi dan politik. Makalah ini disampaikan pada Intermediate Training (LK II) HMI MPO Cabang Kuantan Singingi, Senin-31-Agustus-2020.

[2] Agama samawi sering juga diartikan sebagai agama yang datang dari langit, bukan lahir dari proses pertapaan dan dari buah pikiran seorang, agama samawi ini meliputi Islam, Kriten dan Yahudi. Namun Kristen dan Yahudi sudah diyakini bagi kebanyakan orang perubahan-perubahan terjadi dalam kitabnya.

[3] Jika dibuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maka akan menemukan arti sebagaimana tersebut.

[4] Farida Hamid, 2008, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Surabaya, Apollo, hlm 317.

[5] Mahmuzar, 2014, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 45 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Bandung, Nusamedia, hlm 12.

[6] Farida Hamid, Op Cit, hlm 587.

[7] Hasan Al-Banna (Terj), 2012, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 1, Solo, Intermedia, hlm 36.

[8] Nasikun, 2016, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, hlm 34-35.

[9] Inu Kencana Syafiie, 2004, Ilmu Pemerintahan & Al-Quran, Jakarta, Bumi Aksara, hlm 127.

[10][10] Kamanto Sunarto, 2000, Pengantar Sosiologi, Jakarta, Universitas Indonesia Pers, hlm 54.

[12] Ahmad Sunarto dan Syamsuddin Noor, 2012, Himpunan Hadist Shahih Bukhari, Jakarta, An Nur, hlm 270.

[13] Hasan Al-Banna (Terj), Op Cit, hlm 30.

[14] Hasan Al-Banna (Terj), Op Cit, hlm 82.

[15] Ibnu Taimiyah (terj), 2005, Siyasah Syariyah Etika Politik Islam, Surabaya, Risalah Gusti, hlm 222-223.

[17] Hasan Al-Banna (Terj), 2012, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2, Solo, Intermedia, hlm 95-96.

Thanks for reading TELAAH KRITIS SISTEM SOSIAL ISLAM

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 comments:

Post a Comment