Home » » DINAMIKA OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

DINAMIKA OTONOMI DAERAH DI INDONESIA



DINAMIKA OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

Dari waktu-kewaktu pergolakkan otonomi daerah begitu menggeliat terlebih dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ini merupakan kran awal lahirnya Daerah Otonomi Baru (DOB). Bergulirnya waktu, Undang-Undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Semangat lahirnya Undang-Undang ini dimaknai oleh daerah sebagai azas legalitas untuk melepasakan diri dari kabupaten induknya atau yang lebih popular disebut dengan pemekaran daerah baru. Dalam konteks kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan telah dirumuskan oleh bapak pendiri bangsa (Founding Father), Indonesia merupakan Negara Kesatuan. Oleh sebab itu, untuk menjaga keharmonisan hubungan pusat dan daerah mengingat Indonesia yang begitu luas dan terdiri dari pualau-pulau pemerintah memandang perlu untuk melakukan pengaturan agar tidak terjadi gejolak dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan jangan sampai ada pemberontakan seperatisme memisahkan diri dari Indonesai. Inilah alasan mendasar kenapa lahirnya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, agar kepentingan daerah dapat teakomodir secara merata sehingga terciptanya pemerataan pembangunan dan tidak hanya terpusat di Ibu Kota saja.
Dahulunya pemberontakan yang dilakukan oleh Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berpusat di Sumatera Barat atau dikenal dengan tentara banteng merah, merupakan sejarah bahwasaanya ini merupakan pergolakan daerah atas kecemburuan sosial terhadap pusat atau yang dinamai sekarang dengan pemekaran daerah baru akibat tidak harmonisya hubungan pusat dan daerah, tetapi pada dasarnya pemberontakan ini tidak sedang ingin mencoba memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesai mereka hanya ingin memiliki pemerintahan baru dalam konteks keknian disebut dengan daerha Otonomi Baru (DOB).Semangat yang dapat kita maknai dari pemekaran daerah baru pada saat ini adalah, ingin mencoba menjadi daerah yang berdiri sendiri seperti daerah pada Negara Serikat, jelas jika konteks seperti ini diterapkan di Negara Kesatuan akan menimbulkan perpecahan di tubuh bangsa ini. Terlebih ke egoan daerah yang mengingkan hak-hak khusu bagi daerahnya seperti otonomi khusus dibeberapa daerah di Indonesia, sebenarnya hal ini waar-wajar saja asalkan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pertanyaannya, apakah otonomi daerah yang disuarakan oleh daerah merupakan sebuah keharaman ? jawabannya tentu tidak. Mengacu pada Falsafah bangsa Indonesia yakninya Pancasila yang telah dirumuskan dengan susah payah mencoba mengakomodir seluruh kepentingan bangsa ini sehingga terlahirlah lima sila sebagai pedoman bangsa ini ataupun landasan ideal bangsa ini. Memaknai butir sila yang ada, maka kita akan menemukan bahwasannya yang paling utama pelajaran yang dapat kita petik adalah bangsa ini mengutamakan kesatuan untuk integrasi seluruh bangsa baik pusat maupun daerah yang tertuang dalam Sila ke Tiga “Persatuan Indonesia” ini adalah pemaknaan dari sistem Sentralistik yang dianut bangsa Indonesia. Selanjutnya, dimanakah letak penghalalan otonomi daerah ? jawabannya ada pada Sila ke Lima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesai” inilah dasar dari sistem Desentralisasi yang selanjutnya dimaknai sebagai dasar pendirian otonomi daerah.
Arti penting dari Desentralisasi ataupun otonomi daerah yang kita maknai dari tafsiran sila kelima merupakan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat diartikan dari berbagai aspek, mulai dari pemerataan pemabangunan, mengatsi kesenjangan sosial demi tercapainya kualitas tarap hidup masyarakat di daerah. Otonomi daerah, dapat dikatakan sebagai “pengurusan masalah oleh orang setemapat” agar setiap kebutuhan pembangunan dan keprluan lainnya dapat dirasakan langsung oleh orang setempat karena merekalah yang mengetahui akan kebutuhannya sendiri. Dalam artian pola pembangunan yang dikehendaki oleh otonomi daerah adalah Botton Up (dari bawah) bukan Top Down (dari atas) sehingga sasaran yang akan dicapai benar-benar terwujud demi kesejahteraan masyarakat yang ada di daerah.
Ada dua landasan dasar secara teoritis alasan dibenarkannya pemekaran daerah. Pertama, Acceptability, konsep ini meupakan kacamata yang dipakai oleh rakyat didaerah atau alasan dibenarkannya pemekaran. Acceptability, merupakan kecocokan dan kepantasan daerah untuk  pemekaran hal ini terkait dengan besarnya wilayah, sumberdaya alam yang dimiliki dan jumlah penduduk atau kepadatan penduduk agar daerah dapat mengelola daerahnya sendiri demi tercapainya kesejahteraan taraf hidup masyarakat setempat, tentunya konsep pertama ini tidak bisa dilepaskan dengan konsep kedua yakni Capability, ini merupakan syarat yang diajukan oleh pemerintah pusat jika ingin pemekaran daerah. Capability, adalah kemampuan daerah dalam mengelola daerahnya agar nantinya daerah otonomi baru (DOB) yang dimekarkan tidak memberatkan pemerintah pusat secara keuangan (finansial) ataupun daerah induknya, apatah lagi sampai mematikan daerah induknya. Jelas ini akan menjadi ketakutan sendiri bagi pemerintah pusat, sebab beberapa daerah yang dimekarkan tidak siap secara administrasi maupun keuangan (finansial) sebagai penunjang keberhasilan dalam mengentaskan kemiskinan, meskipun keuangan bukan satu-satunya indikator keberhasilan daerah baru, tetapi keuangan merupakan instrument penting dalam menjalankan pemerintahan baru. Artinya dua konsep ini harus saling tersingkronkan, jangan hanya memaksa diri untuk pemekaran sdangakan secara capability belum mumpuni. Maka tidak begitu aneh dan berlebihan jika para ahli pemerintahan mengatakan pemekaran daerah baru lebih mudah dari pada membuat oncom (semacam makanan terbuat dari tahu). Satu catatan, yang disampaikan oleh Soekarno bapak Proklamator bangsa ini dalam pemberian nama daerah baru hendaknya menghindarkan nama yang bersifat etnosentrisme, ini akan berdampak buruk pada rasakecintaan daerah yang berlebihan sehingga dia tidak lagi menganggap sebagai entitas nasional bangsa ini. Permasalahan seperti ini lazim terjadi pada saat sekarang, daerah baru cenderung memberikan nama khusus kedaerahaannya, hingga menimbulkan rasa etnosentrisme dan kegoan daerah yang tinggi. Berkaca pada daerah yang dimekarkan pada zaman orde lama Soekarno seperti Provinsi Jawa Barat, ini adalah penamaan yang umum bagi daerah hingga masih merasakan bahwasaanya Jawa Barat merupakan entitas nasional bangsa ini, padahal Provinsi Jawa Barat bisa saja memberikan penamaan daerahnya dengan nama Provinsi Pasundan sebagai cirri khas kedaerahanya. Paling tidak masuk akal jika sebuah daerah ingin mekar karena alasan Historis, sebab pada zaman dahulu secara sejarah daerah itu merupakan sebuah kekuasaan kerajaan, dan lebih gila lagi jika tidak memperhatikan Konsep Acceptability dan Capability.
Semoga dengan adanya pandangan seperti ini, daerah yang ingin memekarkan diri dari kabupaten induknya, lebih memikirkan alasan-alasan yang logis agar tercapainya tujuan yang ideal dari sebuah pemekaran bukan hanya mempertimbangkan alasan emosional, ataupun alasan politis yang dimotori oleh semangat kehilangan panggung politik dari elite politik yang dulunya berkuasa dan memandang di aerah baru nantinya akan mendapatkan panggung keeksisan panggung politk yang baru. Dengan demikian jika memperhatikan dua konsep tadi maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang tangguh serta menjadi bangsa yang kuat dan besar dalam segi pemerintahan dan kejayaan ekonomi. Semoga.  
Thanks for reading DINAMIKA OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

« Previous
« Prev Post
Oldest

0 comments:

Post a Comment