Arus globalisasi yang begitu cepat melanda muka bumi, seperti serangan dari berbagai penjuru. Menyebabkan nilai-nilai kebudayaan tertembak olehnya. Dalam hal ini negara-negara yang miskin dan ketinggalan dalam teknologi lebih banyak terpengaruh oleh budaya negara-negara kaya dan berteknologi maju. Maka bangsa Indonesia yang tergolong masih tergolong negara sedang berkembang, cukup mudah terpedaya oleh budaya dan nilai dari luar yang datang lewat media cetak dan elektronik, seperti surat kabar, majalah, buku, berbagai kaset dan siaran televisi dari manca negara. Jika nilai suatu bangsa tidak dikenal dan dihayati oleh generasi mudanya, maka alamat pengaruh dari luar akan diterima begitu saja. Akibatnya bangsa itu akan kehilangan yang hakiki dari pembedaharaan hidupnya.
Masuk atau dikenalnya budaya dan nilai-nilai asing oleh generasi muda, sebenarnya tidak semuanya buruk. Yang dikhawatirkan adalah kemampuan mereka memilih, sehingga yang diterima hanyalah yang memang diperlukan dan merupakan yang terbaik dari segalanya. Ketika generasi muda itu berhadapam dengan beragam nilai dan budaya dari luar tersebut, mereka seyogyanya tidak hanya berada dalam posisi terpengaruh, tetapi juga mampu memberikan reaksi yang seimbang.
Bangsa yang besar, maju dan punya peradaban yang hakiki tidak hanya maju secara sistem ekonomi dan teknologi saja, akan tetapi bangsa yang maju secara hakiki itu juga maju secra sistem nilai-nilai kebudayaan, dan norma-norma keagamaan, sebab sistem nilai-nilai kebudayaan merupakan jati diri sebuah bangsa serta identitas untuk melangsungkan pembangunan di bangsa tersebut. Begitu juga hendaknya yang tercermin di negara Indonesia khususnya Provinsi Riau yang jati diri daerahnya adalah berkebudayaan melayu, yang identik dengan islam. Kalau kita berbicara soal kebudayaan maka di Malaysia kebudayaan melayu itulah sebutan untuk negara, ketika orang mengatakan melayu maka yang tercermin adalah negara Malaysia, begitu juga hendaknya yang tercermin dari wajah Provinsi Riau. Hendaknya kebudayaan melayu Riau bukan hanya bersifat abstrak tetapi mampu diwujudkan dengan ide, gagasan yang dituangkan dalam tingkah laku yang tercermin dari pemeluk budayanya, serta dapat menjadi dasar dari tonggak pembangunannya.
Lain hal apabila kita lihat perkembangan negara maju seperti Singapura yang pada dasarnya mereka adalah melayu, akan tetapi jati diri melayunya telah tergerus oleh budaya asing, sehingga negara Singapura tidak lagi memiliki identitas bangsa dan jati dirinya sebagai rumpun melayu. Hal ini jangan sampai menular kepada Indonesia khususnya Provinsi Riau yang juga merupakan daerah melayu yang begitu kental hilang dari nilai-nilai kebudayaan melayu dan norma-norma agama islam akibat arus globalisasi yang tidak bisa dibendung oleh masyarakatnya.
Fenomena yang terjadi di Provinsi Riau pada saat ini sangat memperhatikan, kondisi masyarakat melayu Riau saat ini sedikit banyaknya telah tergerus oleh budaya asing dan mualai meninggalkan nilai-nilai kebudayaan melayunya, seperti pergaulan para remaja yang mengarah pada budaya asing, serta pada saat ini orang-orang melayu sangat akrab dengan sebutan orang miskin, pemalas dan terkebelakang akibatnya wajah kebudayaan melayu pada saat ini sering dikonotasikan dengan hal-hal yang tidak baik. Hal lain yang membuat dilema kebudayaan melayu Riau adalah hilangnya peran pemangku adat yang kita harapkan sebagai tonggak terpancangnya kebudayaan melayu, serta hilangnya peran ulama untuk mewujudkan kebudayaan melayu yang identik dengan islam. Pada Zaman dahulu, peran kedua tokoh ini sangat urgen, dimana orang lebih memilih berkonsultasi dengan para tokoh adat dan para ulama dalam memecahkan permasalahan daerah, sebab rekomendasi-rekomendasi yang mereka tawarkan tidak jauh lari dari konsep islam yang identik juga dengan keudayaan melayu, begitu juga yang tercermin dalam kebijakan, dan kearifan lingkungan.
Masih banyak nilai dari kebudayaan melayu yang begitu indah dan harmonis yakni seperti yang dikatan Hamdani (2004 : 44-46) kebudayaan melayu itu mempunyai nilai-nilai luhur, nilai luhur itu adalah : Nilai Gotong Royong, Nilai Taat Pada Hukum (law enfeorement), Nilai Keterbukaan, Nilai Adil Dan Benar, Nilai Musyawarah dan Mufakat.
Upaya mengangkat orang melayu dan budaya melayu ketarap yang lebih terhormat, hendaknya menjadi salah satu sasaran pembangunan di Bumi Lancang Kuning. Dan menjadikan dasar pembangunan provinsi Riau, di mana pembangunan yang berbasis keislaman dan tetap bercirikan budaya melayu. kegiatan pembangunan di Provinsi Riau hendaknya mengacu kepada suatu pembangunan yang dirancang secara baik dan mampu memberikan pengayoman kepada semua komponen masyarakat dan tetap memelihara serta menumbuh kembangkan budaya melayu yang islami. Artinya pembangunan yang dilaksanakan bernuansa pembangunan yang berbasiskan kerakyatan, dan harus dilakukan oleh pemerintah provinsi Riau bersama-sama masyarakat itu sendiri. Mengapa hal ini harus dilakukan, karena ada statemen yang menyatakan bahwa masyarakat dikawasan ini pada umumnya berbudaya melayu dan melayu itu adalah islam.
Selain dari pada itu ada hal yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam membangun Provinsi Riau sebagai pusat kebudayaan melayu, yakni yang perlu diperhatikan itu adalah pilar pembangunan kebudayaan. Ada lima pilar pembangunan kebudayaan yang harus dijalankan secara bersama dengan peran aktif serta partisipasi adapun lima pilar pembangunan kebudayaan itu adalah : Pemerintah, Seniman/senimwati yang berdedikasi, Dunia swasta yang memberikan donasi, Media, dan Masyarakat Partisipasi.
0 comments:
Post a Comment