KARIR BIROKRAT LIMA TAHUNAN
Kemenangan pasangan Anas Maamun-Arsyadjuliandi Rachman (59,91 %) atas Herman Abdullah-Agus Widayat (40,09 %) pada putaran kedua pemilihan gubernur Riau versi hitung cepat (quick count) Indo Barometer (IB) dari jumlah suara yang masuk 98 %. Ini merupakan babak baru bagi Riau untuk alih perisa pemimpin Riau kedepannya. Setidaknya ada beberapa catatan atas suksesi kepemimpinan ini, bahwa Anas Maamun kemungkinan saja adalah Gubernur tertua di Indonesia yang memang dari segi umur Anas Maamun tidak lagi muda, jika dahulu Riau pernah dipimpin oleh gubernur yang menyandang predikat gubernur termuda di indonesia yakni Rusli Zainal maka Anas Maamun kebalikannya.
Riau sudah merasakan dipimpin oleh tokoh muda dan berakhir pada jeruji besi, semoga tokoh tua tidak demikian. Sebab Anas Maamun konon katanya sudah memiliki segudang pengalaman dan kematangan emosional. Dimulai karirnya dari seorang guru, anggota DPRD serta Bupati dua periode, tentu beliau merupakn tokoh yang sudah alang melintang di jagad perpolitikan Riau. Pada dasarnya pemimpin politik yakni gubernur memiliki dua kaki pertanggungjawaban. Pertama, pertanggungjawaban secara hierarkis (yakni pada para bawahan birokrat) dan kedua, pertanggungjawaban secara hieterarkis (yakni pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah memilihnya) ini yang harus diingat ya pa Anas Maamun.
Anas Maamun yang notabenenya adalah kader partai Golkar juga telah membuktikan bahwa mitos pemimpin dari Golkar sangat sulit dikalahkan di Riau. Sepak terjangnya luar biasa, ia memulai perjalanan menuju Riau 1 secara singkat dengan menggulingkan Ketua DPD I Golkar sebelumnya Indra Muhklis Adnan dan rivalnya yang juga calon gubernur yakni Herman Abdullah dan akhirnya Anas Maamun terpilih secara aklamasi pada MUSDALUB (musyawarah daerah luar biasa) DPD I partai golkar dan menjadi ketua DPD I Partai Golkar, sekaligus melucuti Indara Muhklis Adnan untuk maju sebagai calon gubernur karna tidak memiliki perahu, dan pastinya perahu telah dimiliki oleh Anas Maamun secara mutlak, perjalanan karier politik yang cukup menakjubkan.
Sekarang Anas Maamun telah membuktikan pada masyarakat Riau bahwa ia layak untuk jadi pemimpin Riau, meski banyak orang berkata bahwa ia kalah style dengan calon gubernur lainnya, maklumlah Anas Maamun sempat disematkan sebagai calon kapung/desa karena gaya bicaranya yang lekat pekat dengan bahasa melayu rohil serta programnya yang memihak kepada desa.
Selain dari itu, ada catatan yang mungkin bisa kita kritisi. Sebahagian daerah yang telah melaksanakan PILKADAL/paska pemilukada biasanya memiliki budaya yang buruk, yakni bagi-bagi kue kekuasaan dan penyusunan kabinet baru terkait menjalankan roda pemerintahan atau yang lebih dikenal dengan mutasi besar-besaran.
Fenomena yang bisa kita tarik adalah, menanti siapa yang akan ditempatkan pada posisi tertentu dan hari ini adalah hari kembang kempis bagi pemilik jabatan sekarang, bisa saja orang yang telah menikmati jabatan pada masa kepemimpinan sebelumnya nasib mereka akan berbalik 180% derajat dari sekarang, dari yang punya jabatan menjadi non job (tidak memiliki jabatan) dan bisa saja yang tidak memiliki jabatan pada hari ini akan menikamati jabatan, tinggal nanti mereka akan ditempatkan pada dinas mata air (dinas basah) atau sebaliknya dinas air mata (dinas kering).
Inilah hal yang paling menyakitkan bagi karier birokrat, setidaknya ada dua teori yang telah membicarakan tentang penempatan/mutasi seseorang pada posisi tertentu yakni “merit sistem” dan “spoil sistem”. Secara idealnya penempatan itu berdsarkan kemapuan, “the right man on the right place”
“Merit sistem” yakni secara sederhana adalah penempatan/mutasi seseorang berdasarkan jenjang karir atau meningkatnya produktivitas, ini merupakan dasar mutasi yaang baik karena, output dan produktivitas kerja meningkat, dan semangat kerja meningkat.
“Spoil sistem” secara sederhana adalah mutasi didasarkan atas landasan kekeluargaan. Sistem mutasi seperti ini kurang baik karena didasarkan atas pertimbangan suka atau tidak suka. “like and this like”. Ini sistem yang tidak wajar, namun menjadi wajar ketika indikatornya tidak jelas. Hal ini berdasarkan pada berapa besar kontribusi mereka saat mendukung calon jagoaannya. Serta juga berdsarkan PERDA (bukan peraturan daerah) tapi berdsarkan (pertalian darah). Liat saja birokrasi kita, mereka cendrung menggunakan “spoil sistem” ketika yang memimpin itu adalah dari kalangan tertentu maka birokrasinya juga dari kalangan tertentu, ini juga yang menyebabkan ketidak efektifan dan keefisieanan birokrasi kita.
Baperjakat (badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan) tidak lagi berfungsi secara maksimal, ketika “spoil sistem” diterapkan. Baperjakat disulap menjadi badan pertimbangan jauh dan dekat. Hal-hal seperti ini cendrung terjadi diberbagai daerah paska pemilukada, akibatnya adalah celah untuk korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang semakin mendapat tempat untuk dipraktekan.
Tentu Kita tidak menginginkan segala sesuatu terburuk terjadi pada bumi lancang kuning ini, biarkanlah “master” orangnya yang berganti namun jangan sampai sistemnya juga ikut berubah. Hal ini tentu telah dicontohkan oleh negara-negara maju, biarkan orangnya berganti namun sistemnya tetap berjalan demi terwujudnya profesionalisme.
0 comments:
Post a Comment